Kamis, 25 September 2008

Berpetualang di Pinang (4)

Beda dengan yang pertama, perjalanan kali ini dua kali lebih capek, selain panas, sistem pendingin udara Kijang itu tak sempurna. Selain itu, suspensi dan daya redam suaranya sudah tak berfungsi normal, sehingga suara mesin masuk ke kabin.

Dari sinilah kami menjemput Andi Amri dan Agnes Pintauli yang sudah menunggu di kantor KPAID Kepri. “Mereka yang tahu tempat anak itu,” jelas Lilis.

Sampai di Senggarang, panas terik. Setelah menjemput dua kursi roda yang berada di mobil Kabag Humas Abdul Kadir Ibrahim, kami meluncur ke Kijang. Yang pertama dituju adalah rumah Restu Setyo Widodo (12) di perumahan karyawan Korindo, yang terletak jauh di dalam rerimbunan pepohonan.

Rumah karyawan ini sangat sederhana dan suram, sesuram nasib PT Korindo itu sendiri. Luasnya kurang dari 60 meter persegi. Dindingnya berbahan papan yang disusun mirip domino. Di sini kami disambut Sumini, ibu Restu.

Selanjutnya, perjalanan dilanjutkan ke rumah Adinda (7), bocah penderita lumpuh layu lain di Sidodadi Balakang Pasar Kijang, Bintan Timur.

Rumahnya berada di dalam perkampungan yang gangnya sangat sempit. Hanya bisa dimasuki satu mobil saja. Itupun mobil tak bisa langsung parkir di depan rumah, karena berada di bawah. Untuk ke sana, kami harus jalan kaki menuruni tangga semen yang cukup curam.

Kondisi keluarga ini lebih sederhana dari rumah Restu tadi. Mereka tinggal di rumah petak yang luasnya hanya 50 meter persegi. Ruang tamunya juga berfungsi sebagai ruang keluarga. Sebuah televisi warna layar cembung 14 inc, setia menghibur keluarga ini.

Saat kami datang, Adinda tampak tergolek menyaksikan televisi. Kami pun disambut Susana, ibu Adinda yang masih muda. “Ayahnya kerjo,” ujarnya saat kami bertanya di mana sang ayah.

Setelah itu kami berangkat. Mobil pun sudah berbalik, akhirnya harus mundur, ”Mobil tak boleh masuk sini Pak. Jalannya tertutup,” jelas seorang wanita warga setempat.

Setelah minta maaf, kami langsung melanjutkan perjalanan. Hingga saat akan keluar dari gang perkampungan menuju jalan umum, di kanan kami ada tembok rumah yang cukup tinggi sehingga menghalangi pandangan laju kendaraan dari sebelah kanan. Demikian juga sebaliknya.

“Awas Tif, hati-hati!” jerit saya. Namun belum tuntas kalimat ini, Sreeeettt… bruk… tabrakan itu terjadi.

Tidak ada komentar: