Jumat, 12 September 2008

Bawean (3)

Karena dasar-dasar Islam yang diletakkan Umar Masud bermazhab Imam Syafi’i (ahlussunnah wal jamaah), sehingga mayoritas pemeluk Islam di sini berhaluan serupa dan masuk dalam Organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Muhammadiyah sendiri yang beraliran modernis, baru resmi masuk di Bawean, tepatnya Sangkapura, pada awal 60-an. Pendirinya adalah orang muda berhaluan urban, yang juga tergabung dalam orkes Bunga Seroja. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Usman Basyah, Jamari dan banyak juga yang lain.

Di masa-masa awal, penentangan warga NU terhadap warga Muhammadiyah sangat tajam. Bahkan, ada cerita di tahun 60-an saat orang Muhammadiyah sempat akan dihabisi ketika melaksanakan salat Ied di lapangan Bom. Untung hal ini tak terjadi.

Perang dingin antara warga NU dan Muhammadiyah ini terus terjadi, kadangkala orang Muhammadiyah dicap salah karena tak melakukan qunnut, tak memakai kopyah saat salat, atau tak melakukan selamatan 3, 7, 40 hingga 100 hari jika ada kerabatnya yang meninggal. Sementara orang Muhammadiyah banyak memandang bahwa orang NU melakukan bid'ah.

Pertentangan ideologi ini terus merasuk dan berlanjut hingga masalah sosial lain. Ada kalanya juga, orangtua tak menyetujui percintaan anaknya, hanya karena suami atau istrinya seorang Muhammadiyah. Atau, bisa saja itu direstui, dengan catatan anak-anaknya harus ikut dalam tradisi NU atau sebaliknya.

Belajar dari pertentangan ini, membuat warga Muhammadiyah terus bergerak. Mereka pun mendirikan lembaga pendidikan moderen pertama bernama SMP Bawean, disusul Masjid Shalihin, serta kini memiliki amal usaha yang cukup maju, berupa Balai Kesehatan Islam disingkat Bakis. Entah mengapa namanya ”Bakis”, mungkin lebih lugas saja. Sebab menurut saya, lebih bagus Balkis, karena lebih mengena pada istri nabi Sulaiman, ratu dari negeri Balkan bernama Balkis.

Bakis didirikan pada tahun 1987-an, saat itu bertempat di kediaman Kemas Aman di Bengkosobung, Kecamatan Sangkapura. Dalam perkembangannya, pada awal tahun 1990-an Bakis memiliki bangunan sendiri di samping Masjid Salihin, Pateken. Persmiannya dilakukan Ketua PP Muhammadiyah kala itu, Amien Rais.

Berdirinya Bakis telah mempelopori warga Bawean, khususnya Sangkapura, dalam berobat yang lebih terjangkau dengan tenaga medis yang berpengalaman pula, seperti dokter dan perawat yang didatangkan khusus dari Jawa. Maklum, selama ini mereka biasa ke rumah sakit umum di Kebundaya, atau berobat ke bidan bahkan ke dukun.

Tak heran, Bakis berkembang pesat dan maju hingga akhirnya konsep ini mulai ditiru oleh kalangan Umar Masud di Bawean. Namun, tetap saja pamor Bakis belum bisa disaingi.

Cuma sayang, soal lembaga pendidikan, meski menjadi pelopor, Muhammadiyah masih kalah dengan Umar Masud (orang Bawean biasa menyebutnya ”Umma”), selain memilki banyak cabang, gedung sekolahnya di dekat alun-alun Sangkapura berlantai 3.

Sedangkan Muhammadiyah, selalu saja kekurangan murid yang mengakibatkan perkembangannya berjalan lambat. Di tahun 1970-an, sekolah ini sangat maju, kegiatan belajar mengajarnya dilakukan mulai pukul 13.00-17.00. Tempatnya saat itu masih numpang di SDN Sawah Mulya I. Namun pada pertengahan tahun 1980-an, SMP/SMA Muhammadiyah memiliki gedung sendiri di Laut Sungai.

Selain itu, Muhammadiyah juga memiliki madrasah. Beda dengan SMP dan SMA yang selalu sepi, perkembangan madrasah ini cukup maju. Muridnya juga banyak.

Yang menarik, ibarat film Laskar Pelangi, para pelajar Muhammadiyah, khususnya di era 90-an ke bawah, selalu dalam seni modern. Di tahun 1980-an, Grup musik IPM cukup laris dan mendapat sambutan dari khalayak. Hingga akhirnya, setelah lulus, pentolannya membentuk grup musik Grand Funk dan Brothers. Tak hanya itu, tahun 1990-an, Muhammadiyah membentuk Marchingband.

Sebenarnya, Umma juga membentuk grup orkes moderen semacam ini, namun masih kalah pamor. Demikian juga soal marchingband, pendidikan Umar Masud akhirnya juga membentuk hal serupa. Makin ramailah persaingan ini.

Pertentangan itu terasa pada saat perayaan hari-hari besar nasional semacam 17 Agustus, atau Islam, semacam 1 Muharram, saat dua kelompok ini mementaskan kreasinya masing-masing, sehingga kubu dua belah pihak kian kontras. Hingga kini, pertentangan itu masih terasa, khususnya bagi golongan orang-orang tua, namun sudah kian tipis dan perlahan menghilang.


Budaya Merantau

Banyak budaya Bawean yang masih saya ingat, meski kini sudah tak bertahan lagi. Misalnya, tentang local wishdom yang harus diemban bagi pemudanya, yang berkata; Jangan menikah sebelum membuka langit, jangan membuka langit sebelum merantau, jangan merantau sebelum memiliki bekal (bekal di sini berupa ilmu agama dan ilmu silat).

Merantau di sini memang jadi penekanan. Ibarat lompat batu di Nias, dulu pemuda Bawean belumlah disebut lelaki jika belum merantau. Budaya ini tertanam berakar urat. Tak heran akibat banyaknya kaum lelaki yang merantau, membuat Bawean mendapat julukan pulau Putri.

Ayah saya sendiri sudah merantau ke Melaka dan Tumasik sejak masih 13 tahun. “Satu bulan ayah naik perahu layar ke Singapura, sehingga jika tangan di lap penuh dengan pasir,” kisahnya.

Antropolog Belanda Jacob Van Den Breght menulis, etnis Bawean sudah tercatat sebagai penduduk di Singapura dan Malaysia sejak tahun 60-an. Mereka dikenal dengan sebutan orang “Boyan” dan membuat perkampungan yang disebut Kampung Boyan. Jumlahnya nomor 4 di bawah etnis India.

Tidak ada komentar: