Senin, 18 Februari 2013

Iklan & Media

Bukan rahasia lagi media massa saat ini telah menjadi lembaga eknomi yang erat kaitannya dengan industri dan mekanisme pasar. Mekanisme pasar artinya tak lepas dari aktivitas ekonomi atau bisnis yang erat kaitannya dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa.
Karena itu media massa saat ini berdiri pada dua kaki, satu kaki menjejak pada idealisme dan kaki lain pada industri. Idealisme ibarat hati untuk bisa merasa dan meraba, sedangkan industri ibarat jantung untuk menjaga agar hidup dan tumbuh.
Agar jantung tetap berdetak, tentunya harus ada darah yang dipompa ke penjuru tubuh. Darah di media massa ini adalah iklan. Bila iklan lancar maka pendapatan akan meningkat, mediapun akan sehat. Tapi bila iklan seret, media akan anemia. Apabila terus begitu, bisa berakibat fatal, pingsan atau bahkan mati.
Pers bisa berkembang seperti saat ini bila ditopang oleh iklan. Semakin banyak yang beriklan, maka akan semakin kuatlah perusahaan pers tersebut. Di tahun 2013 ini, kue iklan yang tersedia bakal mencapai Rp80 triliun!
Kue ini tak datang pada perusahaan pers atau media dengan sukarela, namun harus diperebutkan. Di antara yang berebut itu ada media elektronik (televisi dan radio), cetak (koran, tabloid dan majalah), serta online.
Untuk itu, media harus bersaing menyajikan konten baik format hiburan, edukasi dan informasi yang sangat menarik agar masyarakat tertarik. Semakin banyak yang tertarik lalu menonton atau membaca, maka ratingnya akan naik, tirasnya akan terdongkrak.
Dari sinilah pemasang iklan akan masuk. Karena semakin banyak media ditonton atau dibaca, akan semakin besar pula ”jualan” yang disampaikan pengiklan, diterima masyarakat. Sebaliknya, dari sinilah media menjaring rupiah sebesar-besarnya.
Di televisi misalnya, untuk acara ber-rating tinggi, harga iklannya dipatok sangat tinggi. Untuk iklan dengan durasi 15 hingga 30 detik saja, harganya sekitar 10 juta hingga 15 juta rupiah! Contohnya acara Termehek-mehek di Trans TV, yang harga iklannya mencapai Rp 5,5 juta per slot, dengan durasi 30 detik.
Memang harga ini tak seragam, tergantung "hukum ekonomi", semakin banyak dikonsumsi maka akan semakin mahal. Namun bila dikalkulasikan, rata-rata tarif iklan televisi terbagi dalam dua jenis, tarif murah berkisar 50 ribu hingga 350 ribu rupiah per spot (durasi 15-30 detik) dan tarif mahal berkisar 6 juta hingga 16 juta rupiah per spot (durasi 15-30 detik).
Demikian juga pada media cetak. Misalnya koran, harga iklan dibandrol per milimeter kolom. Sama halnya dengan televisi, di koran harga iklan-iklan di halaman utama, tentunya berbeda dengan di halaman yang kurang diminati. Demikian.
Tentang bagaimana iklan menopang hidup sebuah media ini dapat kita pelajari pada kasus penerbit majalah di New York yang diambang kebangkrutan. Di antaranya Readers Diggest Association dan enam perusahaan afiliasinya. Chief Executive Readers Digest, Bob Guth, menyebutkan, penyebabnya karena kurangnya iklan yang masuk.
Nasib yang sama juga didera time Warner Inc, yang bisnisnya meliputi televisi, film, dan percetakan. Saat ini, perusahaan media mingguan Time tersebut sedang membahas penjualan sebagian majalahnya kepada Meredith Corp, penerbit majalah Better Homes dan Gardens.
Setelah diteliti, langkah ini untuk mendukung rencana Time Warner untuk merombak beberapa divisi usaha yang performanya dinilai buruk, serta melindungi perusahaan dari penurunan dalam penjualan iklan.
Tahun lalu, pendapatan divisi iklan salah satu unit penerbit majalah terbesar di Amerika Serikat itu, turun 7 persen menjadi USD3,4 miliar, sedangkan laba usaha menurun 25 persen menjadi USD420 juta, karena iklan dan pendapatan langganan yang lebih rendah.
Kondisi itu akibat menjamurnya media digital yang menjadi saingan utama bisnis media cetak tersebut. Di negara maju seperti Amerika Serikat, di mana internet kian mewabah, konsumsi media cetak kian rendah. Masyarakat kian beralih pada televisi dan media digital.
Apa yang terjadi di Amerika ini, mulai ada gejalanya menular ke Indonesia. Di kota-kota besar, di mana akses internet kian massive, masyarakatnya pun sudah tak terbiasa lagi mengkonsumsi informasi dari media cetak. mereka sudah beralih mengkonsumsi informasi dari televisi dan tablet, bahkan kebiasaan ini dimulai sedari balita. Akibatnya, konsumsi iklan media cetak menurun.
Riset AC-Nielsen, The Nielsen Indonesia, Advertising Information Services Nielsen, awal Mei 2011 lalu menyebut, belanja iklan di Indonesia pada kuartal I/2011 meningkat tumbuh 20 persen menjadi Rp15,6 triliun dibandingkan periode yang sama 2010 senilai Rp13,0 triliun.
Televisi menjadi media utama yang menjaring iklan terbanyak pada kuartal I/2011, dengan meraup 62% dari total belanja iklan, atau sekitar Rp9,672triliun. Artinya, belanja iklan di televisi mengalami peningkatan sebesar 21% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Selanjutnya, surat kabar menjadi media kedua yang disasar industri untuk membelanjakan anggaran iklan mereka, dengan meraih 35% pangsa iklan atau sekitar Rp5,45 triliun dari total belanja iklan kuartal I/2011. Sedangkan majalah dan tabloid menjadi media yang meraih 3% pangsa pasar iklan atau sekitar Rp0,468 triliun.
Besarnya kue iklan yang harus direbut ini akan sangat prospektif sekaligus kompetitif bagi media, baik cetak, elektronik dan daring untuk terus berbenah dan tumbuh. Namun tetap harus diingat bahwa bisnis media adalah bisnis kepercayaan yang harus dirawat. Jangan sampai ditukar dengan iklan. ***

Tidak ada komentar: