Rabu, 20 Februari 2013

Pers dan Politik

Dari awal berdirinya, media massa di Indonesia tak lepas kaitannya dengan pusaran politik: sebagai alat perjuangan.
Sama halnya dengan kaum penjajah, Belanda dan Jepang, yang menjadikan media sebagai alat propaganda memperkuat hegemoni mereka di Indonesia.
Dari media propaganda penjajah inilah, anak bangsa mengenal jurnalistik. Sebut saja yang paling masyhur adalah Djamaluddin. pemuda Sumatera Barat ini sebenarnya menempuh pendidikan Dokter Hindia Belanda (STOVIA) Batavia, yang mendidik dokter bumiputra (inlandse artsen). Namun dia putus di tengah jalan karena tertarik pada ilmu jurnalistik.
Hingga akhirnya dia bertemu dengan Pemimpin Redaksi Tjaja Hindia Landjoemin Datoek Toemengung, yang menyarankan agar Djamaluddin memakai nom-de-plume atau nama samaran berbau Jawa agar karirnya cepat maju. Maka jadilah dia: Adinegoro.
Selanjutnya, Adinegoro yang namanya diabadikan pada piala karya jurnalistik ternama di Indonesia tersebut, pergi ke Hochschule fur Journalismus di Jerman dan dengan begitu dia adalah pionir wartawan Indonesia yang menuntut ilmu jurnalistik di universitas luar negeri.
Berlanjut pada masa kemerdekaan, pemerintah republik mendirikan media juga untuk melawan propaganda media penjajah ini. Dari media-media inilah, kemudian banyak mencetak wartawan-wartawan andal anak negeri.
Sebut saja misalnya, wartawan ekonomi senior Sanjoto, memulai kariernya sebagai wartawan majalah berbahasa belanda, Het Inzicht, yang diterbitkan kementerian Penerangan RI untuk men-counterpropaganda Belanda yang disuarakan lewat Het Uitzicht. Majalah itu dipimpin oleh Soejatmoko. Dalam Het Inzicht, Sanjoto banyak menulis soal-soal internasional.
Sementara itu, dari Sulawesi Selatan terbit Pedoman Rakyat, didirikan Henky Rondonuwu dari Partai kedaulatan Rakyat pada zaman NICA (Nederlandsch Indiƫ Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda.
NICA adalah tentara sekutu yang bertugas mengontrol daerah Hindia Belanda setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada Perang Dunia II pada pertengahan 14 Agustus 1945. Daerah Hindia Belanda sekarang berada di negara Indonesia. NICA menumpang sekutu sewaktu datang ke Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Nah, sikap politik Pedoman ini pro-Republik. Hingga akhirnya Pedoman benar-benar dibredel oleh Jawatan Penerangan Pemerintah (RVD) NICA yang kala itu menguasai pemerintahan jakarta, tepatnya tanggal 31 Januari 1949.
Berlanjut di era Soekarno, tahun 1965-an lampau, persaingan ideologi (politik) media massa di Indonesia kembali memanas. ”Lawannya” kali ini adalah sesana anak negeri.
Benihnya bermula dari pertentangan di dunia sastra antara kelompok Islam yang diwakili Hamka dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang diwakili Pramudya Ananta Toer, sebagaimana ditulis dalam buku Suara di Balik Prahara: Berbagi Narasi tentang Tragedi 1965 .
Namanya sastrawan, tentu ”mainnya” di koran, melalui tulisan. Akibatnya koran-koran saat itu terbagi tiga poros: kiri, tengah, dan kanan. Soal haluannya, kiri itu Marxis, kanan: Islam, yang tengah tak jelas. Tapi cenderung kiri.
Misalnya ada Koran milik PKI, Harian Rakyat, dengan rubrik Bintang Timur-nya yang kekiri-kirian. Juga ada harian Merdeka dan Berita Indonesia.
Namun yang menarik di balik polarisasi ini adalah, kebebasan berpendapat sudah sangat terjaga dengan baik. Suatu hal yang kemudian sangat ditabukan di era Orde Baru yang muncul seiring runtuhnya rezim Soekarno.
Jadi tak heran bila wartawan selalu bersentuhan dengan dunia politik. Karena embrionaya dari sini. ”Wartawan politik” yang paling terkenal adalah Baharuddin Muhammad Diah, atau BM Diah.
Dalam buku Sang Pelopor: Tokoh-Tokoh Sepanjang Perjalanan Bangsa (Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia, #6) Rosihan Anwar menulis, Diah sudah menjadi redaktur luar negeri di Harian Asia Raya awal april 1943.
Koran ini berhenti terbit 7 September 1945. Namun tanggal 1 Oktober 1945 setelah percetakan belanda, De Unie, diambil alih dari Jepang dan dinyatakan sebagai ”hak milik republik”, maka terbitlah Harian Merdeka. Pemimpin Redaksinya adalah Diah yang kala itu baru berusia 28 tahun.
Di zaman apa yang disebut Soekarno sebagai ”era iberalisme” (1950), Diah kemudian berada di pihak Soekarno dan menentang AH Nasution dalam peristiwa 17 Oktober 1952.
Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa di mana KSAD (dijabat A.H. Nasution) dan tujuh panglima daerah meminta Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dibubarkan. Kemal Idris, salah satu dari tujuh panglima, pernah mengarahkan moncong meriam ke Istana. Dalihnya melindungi Presiden Soekarno dari demonstrasi mahasiswa.
Diah juga mendukung konsepsi presiden dan Nasakom. Ia menjadi dewan nasional. Karena sikap dan jasanya itu, Diah diangkat oleh Soekarno menjadi duta besar RI di Cekoslowakia, Hongaria, Inggris dan Thailand (1956-1965).
Saat menjadi Dubes di Bangkok, Diah kembali menunjukkan perannya ketika mengamati Presiden Soekarno makin terpuruk dalam cengkeraman PKI. Bersama Adam Malik, dia menghimpun wartawan antikomunis dalam suatu wadah yang dinamakan Badan Pembela Soekarnoisme (BPS).
Selanjutnya Diah lama menjabat sebagai Ketua Harian Dewan Pers (1974-1989). Diah mencatat wawancaranya dengan Michail Gorbachev, Sekjen Partai Komunis Uni Soviet, di Moskwa bulan Juli 1987 sebagai mahkota karier kewartawanannya. Saya pikir sebagai waertawan saya berhasil,” ujar Diah dalam biografinya.
Apakah Diah wartawan atau politikus? Kuncien W Pye, guru besar Amerika pada awal 196-an memberikan difinisi berikut, ”Wartawan dan komunikator profesional adalah men whu understand politics but are not of politics (orang yang mengerti politik, tapi bukan dari politik).
Dengan tolok ukur ini, maka serupa dengan adam malik, Diah lebih banyak politician ketimbang wartawan. sebagai politikus. Diah berjaya karena seperti dikatakan oleh Aristides Katoppo, ”Diah mengerti the nature of power (tabiat kekuasaan).
Bagaimana wajah pers (media dan wartawan) saat ini? Silakan dibandingkan. ***

Tidak ada komentar: