Senin, 11 Februari 2013

Nuklir Teknologi Informasi

Sejak bayi anak sekarang sudah terbiasa bersentuhan dengan gadget. Bermula dari ponsel dengan fitur kamera, kemudian dilengkapi perekam suara dan visual. Hingga ketika umurnya menginjak 4 tahun, dia sudah terbiasa dengan tablet.

Sejak saat itu hubungannya dengan tablet kian erat. Tiada hari tanpa tablet. Kalau tak pegang iPad, rewel. Maklumlah di tablet dia menemukan segalanya. Kesenangan, informasi bahkan aktualisasi. Di tablet dia bisa menonton tv, film, lagu favorit, bahkan buku-buku dari dongeng kegemarannya pun ada.

Mereka, seperti jutaan anak-anak lainnya, juga anak anda, adalah generasi baru yang lahir oleh ledakan teknologi informasi. Inilah generasi yang selalu terkoneksi, aktif, transparan dan indipendent dalam menyerap informasi. Generasi baru yang paperless, yang terbiasa menggali apa, kapan, di mana, siapa dan mengapa dengan hanya menggerakkan ujung jari.

Generasi yang disebut Dan Pakarz, seorang peneliti Australia, sebagai generasi C, yang bisa berarti content, connected, digital creative, cocreation, costomize, curiosity, dan cyborg. Namun bisa juga berarti cyber, cracker, dan chameleon (bunglon).

Mereka sangat aktif dan partisipatif menjelajah dunia online baik lewat komputer maupun ponsel. Tak hanya pengunjung juga pencipta masyarakat online di dalamnya. Mereka juga menjadi follower orang-orang hebat dan lebih mudah menemukan fakta-fakta, konsep atau teori baru.

Di sini mereka bebas mengutarakan opini, saling berbagi isu hangat baik tingkat lokal maupun dunia kemudian didiskusikan bersama. Bahkan juga menjadi wartawan dadakan (citizen journalism). Karena itu, Gen C ini sangat ampuh mengusung perubahan.

Dengan sudah terbiasanya mengkonsumsi media seperti ini, maka muncul pertanyaan, akan kemanakah nasib koran mendatang, yang secara fisik membuat mereka awkward, karena pasif, satuarah, ”menggurui”, otoriter, lambat, dan ungkapan ”pemalas” lainnya.

Pertanyaan senada juga sempat mengemuka saat pertama kali CEO Apple Steve Jobs, meluncurkan iPad. ”Apakah iPad menjadi penghancur atau jembatan untuk memajukan surat kabar?” demikian.

Disebut penghancur bila kita kaitkan dengan banyak media massa cetak yang tutup atau beralih haluan menjadi paperless alias cetak digital.

Dimulai dari ambruknya Tribune Coorporation yang dipandang pengamat media sebagai keambrukan usaha media massa terbesar abad ini, dan terakhir kita lihat Newsweek yang beralih menjadi majalah cetak daring.

Inilah yang saya sebut sebagai efek ”ledakan nuklir teknologi informasi”. Dan media cetak yang tersisa saat ini adalah survivor dari ledakan tersebut. Untuk itu harus benar-benar dirawat dengan inovasi dan kredibilitas.

Dan kita tahu, bagaimana susahnya menjaga kredibilitas ini. ”Barang” yang satu ini susah sekali didapat, namun mudah hilang. Meraih kadang mudah, mempertahankan sangat susah. Tak hanya tenaga, pikiran pun terkuras.

Kembali lagi menjawab pertanyaan di atas. iPad atau tablet bisa juga menjadi sebuah ”jembatan” bila kita lihat fakta bahwa seiring maraknya jejaring sosial, membuat wartawan media cetak kian terbantu manyajikan berita yang aman dan dibutuhkan masyarakat. Bukankah berita dibuat untuk dibaca? Dan agar dibaca, tentunya harus dibutuhkan.

Selain itu, kian banyak masyarakat yang peduli pada kinerja wartawan. Hal apa yang dikatakan wartawan senior Farid Gaban, ”Jurnalisme terlalu penting untuk hanya diurus para wartawan saja. Publik perlu mempersenjatai diri dengan pengetahuan bagaimana industri media beroperasi, bagaimana wartawan bekerja.” ***

Tidak ada komentar: