Minggu, 03 Maret 2013

Wartawan dan Modus Anomali

Empat bocah ditemukan tewas dalam mobil, Kamis (28/2) lalu. Mereka adalah Maria Magdalena Yelson Fenge (6), Kosmas Ferson Farera (4), Wihelmus Rudi Farera (3), dan Aprillius Ama Mado (5), di dalam mobil Subaru BM 1306 XS.
Berita ini sontak mengemparkan, memancing analis dan spekulan mulai tingkat warung kopi hingga para ahli. Apakah mereka dibunuh atau terbunuh? Inilah yang masih jadi misteri.
Empat bocah ditemukan tewas dalam mobil, Kamis (28/2) lalu. Mereka adalah Maria Magdalena Yelson Fenge (6), Kosmas Ferson Farera (4), Wihelmus Rudi Farera (3), dan Aprillius Ama Mado (5), di dalam mobil Subaru BM 1306 XS.
Berita ini sontak mengemparkan, memancing analis dan spekulan mulai tingkat warung kopi hingga para ahli. Apakah mereka dibunuh atau terbunuh? Inilah yang masih jadi misteri.
Menyimpulkan memang mudah, namun untuk kasus seberat ini tentu tak bisa asal-asalan, harus berbasis bukti. Harus bisa dipilah mana fakta, realita dan asumsi.
Masalahnya, mencari bukti rasional itulah yang jadi masalah. Kadang, seperti yang disebut tadi, masyarakat kerap masih belum bisa membedakan mana fakta, realita dan asumsi. Semua ini harus menempuh proses berpikir yang panjang.
Sudah galibnya sebuah misteri atau peristiwa yang tidak diketahui penyebabnya, memiliki anomali atau kejanggalan. Kejanggalan ini muncul, bisa jadi karena peristiwanya masih baru, atau memang pola berpikir kita yang belum sampai ke sana, sehingga susah (atau malas?) untuk menganalisanya.
Padahal hakikatnya manusia sudah lahir dengan dibekali naluri alamiah sebagai peneliti, sebagaimana pakar pendidikan AS R Buckminster Fuller yang hidup tahun 1895 - 1983. Metode penelitian ini sudah biasa kita lakukan sejak masih anak-anak. Coba saja amati bayi yang masih merangkak. Lepas saja dia di ruang tamu, lalu perhatikan apa yang dilakukan.
Pertama mereka akan ”menyisir” ruangan tersebut, ini namanya observasi. Selanjutnya mereka akan menemukan benda. Bisa jadi itu tanah, bisa jadi mainan atau remah roti.
Spontan saja otaknya bekerja dan mencari tahu apa gerangan benda tersebut. Mulailah dia penelitian, caranya menganalisa data. Namanya juga bayi yang masih fase faal, analisa tersebut dilakukan dengan mulut. Mulailah dia memasukkan benda baru itu ke mulutnya.
Di sanalah dia mendapatkan hasil, apakah benda itu baik atau buruk bagi dirinya. Bila baik, dia akan sebarkan hasil hasil temuannya itu pada orang di sekitar, bila buruk biasanya akan dia buang. Begitulah kita terbentuk. Cuma seiring waktu, jiwa peneliti ini kadang tak terpupuk dengan baik.
Jangankan memandang misteri besar, semacam meninggalnya empat anak yang terjadi baru-baru ini di Batam, saat tiba-tiba melihat ban mobil kempes saja, pikiran kita akan langsung terfokus untuk mencari penyebabnya.
Kenapa tiba-tiba kempes? Lalu naluri kita membimbing untuk melakukan penelitian. Oh, ternyata tertusuk paku. Paku ini dari mana? Apakah tak sengaja tertebar di jalan, atau memang sengaja di sebar orang? Begitu terus.
Hingga kita mendapatkan kesimpulan akhir, apakah ingin melanjutkan mencari penyebab utamanya atau menutup saja kasus ini dengan mendatangi tambal ban.
Seperti saya urai di atas, ada beragam cara atau pendekatan ilmu untuk mengungkap apa sebenarnya yang terjadi. Menurut filsafat ada empat kebenaran yaitu metafisika, etika, logic dan empirik yang masing-masing mempunyai pandangan khas yang berbeda tentang kebenaran.
Dalam dunia jurnalistik, metode seperti ini dikenal dengan sebutan investigasi. Secara umum, dari berbagai definisi yang ada, investigasi bisa diartikan sebagai upaya pencarian dan pengumpulan data, informasi dan temuan lainnya untuk mengetahui kebenaran –atau bahkan kesalahan- sebuah fakta.
Melakukan kegiatan investigatif sebenarnya jauh dari sekedar mengumpulkan ribuan data atau temuan di lapangan, kemudian menyusun berbagai informasi yang berakhir dengan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian. ”
Petunjak awal adalah sumber dari mana saja yang dapat memberikan keterangan tentang peristiwa itu, mempelajari kelemahan sistem dan internal control suatu objek, pengorganisasian data dengan mengklasifikasi dokumen yang diperoleh serta analisis kasus dengan melakukan pembandingan, pemeriksaan bukti tertulis, rekonsiliasi, penghitungan kembali, dll, untuk diperbandingkan dengan informasi dari sumber.
Berdasarkan uraian tersebut, maka untuk mengungkap kasus anak yang tewas ini, bisa dengan membuat studi analisis atau kajian menggunakan pendekatan ilmiah. Misalnya dari olah tempat kejadian perkara, analisa psikologi (kebiasaan/peer group), analisa medis berdasar hasil visum atau koroner.
Namun Pendekatan ini biasanya jarang dilakukan karena rumit sehingga bikin malas. Yang sering dan gampang dilakukan dalam menganalisa misteri pembunuhan ini dengan berprasangka buruk, menuding ke sana-kemari, atau mengarang tentang teori konspirasi yang di luar nalar.
Hal ini juga, amat disayangkan, kerap menjangkiti wartawan. Mereka enggan menguji informasi yang datang. Misalnya dalam kasus tewasnya empat bocah ini, belum ada wartawan yang berupaya menyajikan liputan berdasar investigasinya. Mengapa? Bukankah wartawan itu investigator? Misalnya melakukan analisa lapangan kemudian membandingkan temuannya dengan para pakar atau hasil studi literasi.
Disayangkan bila mereka hanya mencari, mengumpulkan, megolah dan menyebarkan berita dari sumber yang selain kapasitasnya diragukan, juga menyimpulkan hanya berdasar asumsi, bukan fakta atau realita. Maka, jatuhlah si wartawan dan liputannya pada model jurnalis copy paste, jurnalisme klaim.
Berbicara tentang investigasi ini, contoh yang terbaik adalah bagaimana Bondan ”maknyus” Winarno meliput skandal emas Busang. Yang manarik adalah metode yang dipakai Bondan.
Dia menelusuri berbagai dokumen tentang pertambangan mineral dan cara-cara ”meracuni” mata bor dengan ”emas luar” sedemikian rupa sehingga dibuat kesimpulan ada cebakan emas yang luar biasa besarnya di bawah permukaan hutan Busang.
Intinya Bondan menganggap Michael de Guzman, geolog senior Bre-X, ”meracuni” sample hasil pemboran mereka dan melakukan kejahatan canggih untuk memperkaya diri mereka. Bondan secara mengejutkan juga memperkirakan bahwa de Guzman masih hidup, tidak mati bunuh diri seperti diberitakan.
Bondan melaporkan bahwa mayat yang ditemukan di tengah hutan Busang itu tidak memiliki gigi palsu di rahang atasnya seperti yang dimiliki de Guzman. Geolog Filipina ini juga mempunyai gaya hidup mewah, suka berfoya-foya, main perempuan, yang tidak cocok dengan tipe orang yang memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
Aneh juga bahwa de Gusman tidak duduk di samping pilot helikopter namun di belakang. Bondan mewawancarai dua orang dokter yang melakukan autopsi terhadap jasad tersebut serta seorang dari empat isteri de Guzman. Luar biasa. Benar-benar mak nyus! ***

Tidak ada komentar: