Minggu, 27 Juli 2008

Pasar Pagi Samarinda (3)

Sementara itu, hilir mudik para pembeli berhimpit berdesakan di sela-sela lapak yang lebar jalannya hanya 1 meter saja.

Tunggu dulu, ini masih belum sesak, masih belum sempit, sebab di tengah-tengah lapak tersebut ada pangkalan ojek. Aduh, jadilah kadang sepeda mortor-sepeda motor tersebut berjalan diantara sesaknya pembeli.

Coba bayangkan deh. Pusing kan? Baru bayangkan saja sudah pusing, bagaimana lagi merasakan langsung!

Suasana kian pusing, mana kala akibat lalu-lalang sepeda motor ini, seorang inang-inang (sebutan pedagang wanita Batak) paruh baya berteriak, ”Hei, kau kalau parkir sana jauh-jauh. Habislah dagangan saya nanti tak mau dibeli orang,” hardiknya kepada seorang pengendara sepeda motor yang parkir di dekatnya.

Saya perhatikan, inang inang ini memang gagah. wajahnya lonjong, badannya tinggi kekar, kulitnya hitam, sehitam rambut panjangnya ditutup topi pet warna biru tua yang mulai kumal. Bercelana bluejins ketat, memakai t shirt yang dibalut sweater woll belang-belang putih hitam.

Namun, wajah galak si inang tak membuat pengendara motor keder. Lelaki Jawa yang memiliki kumis tebal ini cuek saja, sehingg si inang kian murka. ”Kau kalau dikasih dibilangin tak ngerti juga rupanya. Nanti saya lempar baru rasa kau!” lengkingnya.

”Sebhentar!” balas si pengendara sekenanya, medok sekali aksen Jawanya. Lalu dia ngeloyor begitu saja meninggalkan sepeda motornya ke dalam pasar. Oh, rupanya dia pengojek yang tengah menjemput langganan.

”Ah... Kau sebentar sebentar, lama juga kereta (beginilah sebutan orang medan untuk sepeda motor) kau parkir di sini!” teriaknya, menahan dongkol.

Suasana di pasar ikan tak kalah ”seramnya”. Teriakan-teriakan pedagang, ”Ayo-ayo benggol sepuluh ribu!” atau ”Ayo-ayo sotong murah-sotong murah!” berbaur dengan suara-suara pembeli menawar ikan.

Tak hanya itu, suasananya pengap, bau amis ikan bercampur dan ketiak manusia menjadi satu. Belum lagi sesaknya pembeli yang berebut memilih dan mengincar ikan murah.

Tidak ada komentar: