Jumat, 25 Juli 2008

Pergilah, Kami Mau Bertempur! (1)

Sabtu lalu seusai ngurus kerjaan ke kawan saya seorang ketua Yayasan sebuah pendidikan modern di Sekupang, ada hal menarik yang terjadi.

Saat itu, pak ketua tengah gundah gulana. Bayangkan, 5 guru terbaiknya akan hengkang dari sekolah itu. Padahal mereka sudah masuk sejak awal sekolah itu berdiri.

Karena sudah akrab, saya pun ikut nimbrung. ”Gimana pak, saya takut kepergian mereka akan membuat gejolak bagi guru yang lain,” keluhnya. Lalu ketua yayasan punya usul, akan membuat acara perpisahan. Alasannya menghargai lima guru itu.

Saya pun tergugah. Lalu aku minta diri untuk merenung. Aku membayangkan, mengapa ketua yayasan semelankolis ini. Bukankah ini akan kian melemahkan kinerja organisasi sekolahnya?

Analisa pemikiran saya sederhana saja. Lihat saaja anak sekolah yang baru lulus, selalu saja coret-coret baju lamanya, sebagai simbol sudah lepas dan bebas dari semua beban yang dia dera.

Orang yang akan hengkang, meski kelihatan sedih (aneh juga, kalau sedih mengapa mau hengkang?) paling gampang mengucapkan selama tinggal kepada rekan-rekannya. Toh dia tak ada beban lagi untuk menjalankan tugas, mengemban amanat memajukan sekolahnya.

Bahkan bisa jadi di hati kecilnya berkata, ‘’Ha ha ha… selamat tinggal orang-orang tolol! Saya akan pergi, persetan dengan kerjaan kalian! Sekarang gua bebas!”

Sementara kawan-kawannya yang masih tinggal, adalah orang yang paling tersiksa. Mentalnya lemah. Pasalnya, di saat kawannya lepas dari deraan tugas, dia masih berpikir tentang tugas-tugas yang akan menderanya nanti.

Kalau tak ditangani dengan bijak, maka ini bahaya. Sebab, bagaimana pun merekalah tenaga yang dimiliki saat ini.

Tak lama setelah renungan ini, saya menemui ketua yayasan lagi. ”Pak, saya punya usul. Lupakan acara perpisahan itu!”

Ketua yayasan bingung, lalu berkata. ‘’Maksud mu apa?”

Tidak ada komentar: