Selasa, 01 Juli 2008

Ketua dan Panutan

Secara etimologis ”panutan” berasal dari kata ”anut”, kalimat pendek yang mengandung pengertian bersih, bisa dicontoh, dipercaya, bahkan diimani. Orang yang mencontoh dan mempercayai disebut penganut.

Panutan memang harus ada dalam kehidupan, sebab dalam keseharian, manusia memang memerlukan patron yang tujuannya untuk memelihara sebuah tatanan.

Lalu apa bedanya dengan ketua? Sama saja, sebagai orang yang bisa dicontoh dan kata-katanya diikuti. Badanya, ketua tak selamanya orang yang bersih, bisa dipercaya, apalagi harus diimani. Lihat saja, dalam organisasi mafia juga ada ketuanya kan?

Selain itu, ketua biasanya terkait pada pekerjaan teknis. Karenanya sebutannya bermacam-macam, bisa pimpinan, manajer, kepala dan lain-lain. Wilayahnya sudah jelas, hanya pada dimensi raga dan duniawi.

Sedangkan wilayah panutan, selalu berkutat pada rohani dan akhirat. Dan penyebutannya pun tidak banyak, umumnya dikenal sebagai imam, atau clerik. Dari uraian ini, tak heran timbul ungkapan bahwa ketua belum tentu panutan, tapi panutan umumnya adalah ketua.

Selain itu, setiap panutan tak selalu berpikir menjadi ketua dan semacamnya, karena tanpa harus menunjukkan diri, orang sudah mengakuinya.

Namun ketua selalu ingin menjadi panutan. Tak heran, banyak di antara mereka yang terkadang bersusah payah agar bisa menggapainya.

Seorang kawan bercerita, ada seorang ketuanya saat di depan para stafnya selalu jaga image alias jaim bahkan ingin tampak memiliki wibawa.

Misalnya, saat berpapasan mukanya selalu dipasang masam, saat pertemuan selalu telat biar kelihatan bahwa kedatangannya ditunggu. Bahkan kalau berbicara seolah menjadi pembela. Padahal aslinya tidak seperti itu.

Ada juga yang seperti ini; ingin dilihat bahwa dia adalah orang yang punya jabatan. Maka dalam kesehariannya di kantor, selalu mempraktikkan bagaimana biasanya orang memiliki jabatan penting.

Kadang cara bicaranya agak dibuat layaknya tokoh pejabat tertentu, kalau berpapasan enggan menyapa, atau pura-pura main ponsel, bahkan sering pamer ”kaki”.

Namun untuk menilai ketua semacam ini, bisa dilihat saat mereka berada di tengah masyarakat. Bagaimana mereka bersosialisasi, dan bagaimana mereka dinilai? Kadang ada ketua yang sok wibawa di dalam, ternyata orang di luar memiliki penyakit minder dan gagap. Lihat orang lari!

Ada juga yang ternyata, di luar tak dianggap sama sekali!

Inilah memang kenapa seorang panutan biasanya terbentuk dari alam. Ini murni pengakuan. Sedangkan ketua adalah sesuatu hal yang bisa tercipta tergantung atasannya memandang, bisa karena seleksi dengan standar kecakapan yang baik, atau karena faktor lain.

Sehingga tak jarang kita temui, ada orang yang tak becus pun bisa menjadi ketua. Tak heran selalu menjadi bahan tertawaan bawahannya. Ada yang terang-terangan, namun ada yang hanya dalam hati.

Tidak ada komentar: