Jumat, 04 Juli 2008

Aku Orang Batam (2)


Waktu bergulir, Batam kian terbuka, lahan pekerjaan kian lapang, cari uang kian gampang. Dulu di tahun 2000-an, pendapatan pengojek di sini setara dengan gaji supervisor di perusahaan. Apalagi pendapatan yang lain tentu kian besar.

Maka, kian deraslah serbuan pendatang. Saking kuatnya, sampai-sampai Wali Kota Batam Nyat Kadir harus membuat perda soal pembatasan penduduk yang disosialisasikan hingga ke Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Namun, pendatang tetap deras.

Para pendatang inilah, lambat laun mewarnai Batam dengan budayanya masing-masing. Termasuk masakan, dan tingkah laku. Tak heran jika saat ini, di Batam masih terjadi polarisasi budaya antar suku-suku yang ada. Yang Batak dengan ke batakannya, yang Jawa dengan ke jawaannya. Begitu seterusnya.

Namun berkaca pada pola akulturasi budaya di daerah-daerah lain di Indonesia bahkan di dunia, dari semua polarisasi ini akan menimbulkan akulturasi. Mereka semua akan melebur, membentuk sebuah tatanan budaya baru; budaya Batam.

Meski demikian, bukan berarti budaya yang mereka bawa dari kampung halaman itu hilang, paling tidak masih terlihat pada saat prosesi penting semacam pernikahan.

Semua ini akan terjadi penyesuaian menuju peradaban baru. Namanya juga ''peradaban'' yang beradab akan diambil, yang tidak akan dibuang. Hasilnya, sebuah adat baru akan muncul, yakni adat khas Batam yang merupakan sari pati dari keragaman itu sendiri.

Bisa jadi, orang Batam akan sangat patuh kepada orang tuanya, merunut pada budaya kaum Tionghoa. Orang Batam akan teguh memegang harga dirinya, merujuk pada budaya siri suku Bugis.

Orang Batam juga akan santun pada sesama dan ulet bekerja, merujuk pada budaya Jawa dan orang Batam suka terus terang merujuk pada adat Batak. Semua ini dibalut indah dengan budaya asli, budaya Melayu.

Tentunya, Melayu yang umum. Melayu Khas Kepulauan Riau, bukan Melayu batam apalagi Riau daratan. Kenapa demikian? Karena Melayu itu sangat beragam, baik bahasa dan adatnya. Jangankan dengan Melayu di Riau daratan, Melayu di Batam ini saja sangat banyak ragamnya.

Contoh akulturasi budaya seperti ini juga terjadi di Pulau Bawean, Jawa Timur. Belasan abad lalu, pulau ini bernama Majadi, kerajaan kecil beragama Hindu. Hingga akhirnya Raja Sumenep, Madura bernama Cakraningrat menguasainya.

Melalui orang kepercayaannya bernama Umar Masud, Kerajaan Sumenep menyebarkan agama Islam dan kebudayaan lain. Bahasa yang digunakan, tentu saja bahasa Madura.

-------
Foto: Generasi baru yang lahir di Batam. Orang tua mereka adalah pendatang.

Tidak ada komentar: