Jumat, 04 Juli 2008

Aku Orang Batam (1)


Baru-baru ini saya bersua dengan kawan lama yang kini telah menjadi pejabat teras di sebuah perusahaan di Batam. Bertempat di sebuah kedai empek-empek, makanan khas Palembang, perbincangan hangatpun langsung terjadi.

Dia agak resah melihat warga Batam, masih membanggakan daerah asalnya. Padahal mereka mencari nafkah di sini.

”Mestinya mereka harus bisa melepas identitas lamanya itu, mengganti dengan identitas Batam,” bebernya.

Sekadar diketahui, kawan saya ini adalah pendatang. Namun sudah menetap di Batam.
Lapat-lapat saya bisa menangkap apa yang menjadi masalahnya adalah; identitas Batam belumlah diakui oleh warganya sendiri. Apa iya?

Sedikit mengurai, Batam adalah daerah orang-orang Melayu. Namun berbeda dengan Tanjungpinang, yang sudah ada sejak kejayaan kerajaan Riau Lingga dulu, Batam baru dikembangkan. Baru saja.

Pemkonya saja baru terbentuk awal 2001 lalu. Warga di sini, mayoritas adalah pendatang yang terdiri dari suku Jawa, Batak, Padang, Palembang bahkan Melayu itu sendiri.

Karenanya meski tak juga dibenarkan, wajar saja jika pendatang kurang menerima identitas daerah ini. Mereka masih memegang teguh adat dari daerahnya masing-masing.

Sebelum dikembangkan jadi kawasan industri, pulau Batam merupakan kelurahan dari Kecamatan Belakang Padang. Di pedalaman, tanahnya tandus berboksit. Namun lautnya, memiliki kekayaan yang luar biasa. Karena itulah mengapa warga asli Batam banyak yang berdiam di pesisir dari pada di pedalaman.

Hingga pada suatu ketika, tahun 1976 Batam dibuka sebagai daerah industri baru. Mulailah, pulau ini menjadi serbuan warga dari luar. Apalagi kabarnya, dulu untuk menarik warga bermukim di Batam, Otorita sempat membikin iklan di media massa nasional.
---------------
foto: Arus masuk pendatang ke kota Batam, memadati pelabuhan

Tidak ada komentar: