Jumat, 25 Juli 2008

Kok Ibu Saya Belum Mati?

Arham Wakil Pemred Batam Pos dalam sebuah perbincangan pernah berkata, ‘’Orang Singapura itu di negaranya merasa dikekang, sehingga kalau di negara lain inginnya melanggar hukum terus.

Beda dengan orang Jepang yang di negaranya terbiasa disiplin, sehingga di negeri orang pun selalu demikian.”

Menarik juga uraian Arham ini. Namun apa yang saya nilai ternyata lebih parah. Orang Singapura ternyata memiliki tingkat individualisme yang sangat tinggi. Selalu berorientasi pada uang!

Aktivitas dan rutinitas yang menjebak mereka, terkadang membuatnya tak mampu lagi bersosialisasi dengan baik. Jangankan dengan orang lain, dengan keluarga sendiripun kadang kacau.

Entah kebetulan atau tidak. Kebetulan saya punya kenalan beberapa orang Singapura. Saya kaget, ketika pada suatu masa dia terus bertanya kapan ibunya meninggal. ‘’Kapan ya Bang. Kondisinya sudah gawat,” katanya ringan.

Saya jawab sekenanya, ‘’Tunggu saja. Tak lama lagi.”

Ternyata keesokan harinya, ibunya belum juga meninggal. Maka kian gencarlah dia menelepon saya. ‘’Kok ibu saya belum mati ya?” katanya.

Akupun bingung, lalu bertanya kenapa kok ingin ibunya mati. Dengan enteng dia menjawab, ‘’Ya, kan sudah tua. Ngapain juga. Kami repot mengurusnya, kerjaan banyak tersita,” jelasnya.

Selang tiga hari kemudian ibunya meninggal. Kawan saya ini dengan mimik gembira kembali menelepon. ‘’Bang, akhirnya ibu saya meninggal,” jelasnya.

Beda lagi dengan kawan saya yang lain. Saat itu dia terlibat percakapan dengan ibundanya yang mengeluhkan belum membayar pajak. Selanjutnya dia minta sang anak membayarkannya. Apa jawab sang anak?

”Sudahah bu, tak usah dibayar. Paling juga ibu dipenjara. 40 hari juga keluar,” jawabnya.

Tulisan ini meski tak bisa mewakili 100 persen warga Singapura, namun bisa menjadi sekelumit gambaran tentang kehidupan warga di sana.

Tidak ada komentar: