Rabu, 02 Juli 2008

Penguasa, Beri Kami Air! (1)



Selasa malam, sekitar pukul 19.30, saya diundang warga RT 18 Kelurahan Batu Merah. Mereka ingin berbagi ”derita” tentang apa yang dialaminya selama ini. Bayangkan sejak Batam berdiri mereka belum mencicipi aliran air bersih.

Diskusi dilangsungkan di halaman rumah penduduk, di bawah pohon meranggi yang bersanding dengan satu batam pohon kelapa. Di tanah seluas 5 x 5 meter tersebut, di jejer dua meja panjang berbentuk ”L” dan beberapa kursi plastik, aneka bentuk dan warna.

”Tenang saja Pak, buahnya tak akan jatuh. Tadi sore sudah kami bersihkan,” jelas salah seorang pemuda, saat saya mulai khawatir kejatuhan buah kelapa. Maklum, posisi duduk saya persis di bawah pohon kelapa. Spontan saya tengadah. ternyata benar, buahnya sudah bersih.

Hingga akhirnya setelah semua berkumpul, Aminuddin, Ketua Karangtaruna setempat membuka acara. ”Terima kasih Pak. Sebenarnya kami ingin mengadukan masalah air,” jelas pemuda brewok ini.

Penampilannya malam itu cukup sangar, dengan t shirt bermotif Formula 1 dan sebuah kalung berbentuk tasbih dibiarkan keluar. Sepintas mirip bintang The A Team, Mr T.

Di sebelahnya duduk ketua RW Asanuddin, dan beberapa pemuda lain. Saking berjubelnya, kursi sampai penuh. Sehingga sisanya ada yang berdiri, atau duduk di beranda rumah yang dekat dengan lokasi diskusi.

Aminuddin melanjutkan, sudah lama warga di sini mendambakan air dari ATB. Namun, hal tersebut belum juga terealisasi. Calon kepala daerah, baik wali kota hingga gubernur, kerap datang menebar janji. Namun setelah terpilih, mereka seolah lupa. Begitu terus.

Sebenarnya hal ini telah mereka sampaikan ke ATB. Namun, satu-satunya perusahaan air di Batam itu, meminta kejelasan status tanah mereka dari Otorita Batam.

Setelah hal ini mereka tanya ke OB, jawaban mereka malah melempar kembali ke AB. ”Status tanah kan sudah ada. Minta aja rekomendasi dari ATB,” jelas Aminuddin, menirukan pejabat OB.

Lalu, dari mana mereka mencukupi kebutuhan air selama ini? ”Warga banyak membuat sumor bor, Pak. Tapi airnya cetek, apalagi di saat musim kemarau begini,” jelasnya.

Sedikit diskripsi, Kelurahan Batu Merah berada di tubir pantai. Pertama sebagian besar warganya berdiam di rumah-rumah yang didirikan di atas laut yang disebut pelantar. Untuk menghubukannya, warga membuat jembatan bambu sebagai gang.

Kampung ini rawan dari puting beliung dan gelombang pasang. Bencana terhebat terjadi Desember 1999. Saat itu, ombak besar menggulung ratusan rumah di pelantar.

Kembali ke sumur bor tadi. Agar airnya tak asin, warga harus membuatnya agak jauh ke dalam. Saya pun meminta melihat sumur bor itu. Seorang pemuda bernama Raja langsung mengantar ke sebuah posyandu, sekitar 100 meter dari lokasi diskusi atau 200 meter dari bibir pantai, di sana saya melihat ada tiga buah sumur bor.

Penasaran, sayapun melongokkan kepala ke salah satu sumur bor tadi. Lembap dan gelap. Raja tadi langsung mengambil inisiatif, membuat penerangan dari lampu ponselnya.
-------------
Keterangan Foto: Suasana saat diskusi (atas). Warga yang tak kebagian kursi terpaksa berdiri (bawah).

Tidak ada komentar: