Rabu, 13 April 2011

Sadar Dulu Baru Berubah

Orang hidup memang harus berubah, karena yang yang tak berubah hanya perubahan itu sendiri.

Manusia sangat menyukai perubahan. Ke arah yang lebih baik tentu saja. Tanpa perubahan, kita tak beda dengan manusia yang hidup ribuan tahun lalu.

Tanpa perubahan, tentunya ras manusia akan musnah, karena hanya yang bisa menyesuaikanlah yang akan diterima alam. Karena perubahanlah hingga saat ini peradaban kita terus berkembang dan maju.

Dalam sejarahnya, kian ke ujung zaman, perubahan peradaban akan kian cepat. Seribu tahun lalu, di mulai keinginan untuk mengubah nasib, manusia ingin menemukan jalan ke negeri Timur yang kaya.

Mulailah mereka menciptakan perahu untuk menjelajah dunia emas itu, setelah lelah dan berbahayanya menempuh perjalanan darat di jalur sutera. Maka muncullah legenda Marco Polo, pelaut Viking, Columbus.

Hingga seratus tahun lalu, Revolusi Industri meledak di Eropa. Beragam kendaraan bermesin tercipta, sehingga mereka kian cepat (mudah) terhubung ke bagian dunia lainnya.

Perubahan ini terus berjalan hingga 10 tahun lalu, alat telekomunikasi pun tercipta. Ada telepon, ada faksimile, radio, televisi, hingga angkutan udara. Penemuan ini kembali mengubah budaya manusia yang tak lagi harus bertemu secara fisik.

Komunikasi kian mudah dan intens dilakukan, sehingga terus mendorong perubahan kian massive lagi. Manusia semakin banyak melihat, mendengar dan meniru hal-hal baru serta merasakan makanan lebih beragam.

Hingga hari ini, kian dahsyat setelah teknologi selular, GPRS, dan internet ditemukan. Membuat semua kian terhubung. Dulu bila ingin mengetahui kabar saudara di rantau, susahnya minta ampun. Harus berkirim surat dulu, dengan jeda waktu 1 minggu hingga 1 bulan baru menerima balasan. itupun setelah kita memberi tanda ”kilat khusus”.

Namun kini, kendala itu sudah lenyap. Saat ini juga, kita bisa mengetahui kabar mereka yang jauh di ujung dunia sekalipun. Bahkan dengan jejering sosial, kita bisa menemukan kembali teman-teman sekolah yang pernah hilang.

Mungkin bila orang yang sudah meninggal ratusan tahun lalu, bisa melihat bagaimana majunya zaman ini, maka akan membuat mereka terkagum-kagum.

Selanjutnya apa? Bisa jadi tak hanya suara, tulisan dan gambar kita yang mudah diakses, namun bisa saja hayalan dalam film Quantum Leap itu bisa menjadi nyata.

Kita bisa bepergian ke mana saja, dengan masuk ke esin khusus yang bisa mengurai tubuh kasar menjadi molekul kecil, lalu ditransfer ke tujuan, dan dipadatkan kembali dalam hitungan detik.

Begitulah, dahsyatnya sebuah perubahan.

Apakah menuju perubahan itu susah? Sebenarnya tidak, bila masyarakat tersebut sebelumnya telah memiliki kesadaran. Karena perubahan tanpa dimulai dengan kesadaran tak akan membuahkan hasil apa-apa.

Kita selama ini tentu tahu bahkan mengerti akan pentingnya sebuah perubahan. Hanya saja kadang belum sadar, sehingga hal yang kita ketahui, tidak meresap lalu melahirkan perbuatan untuk menuju ke arah perubahan yang diinginkan bersama.

Bisa jadi yang mengajak berubah itu lalai menyadarkan yang diajaknya akan pentingnya perubahan. Atau jangan-jangan yang ngajak berubah itulah justru yang tak sadar bagaimana cara melakukan perubahan tersebut.

Seringkali kita mendengar kampanye yang mengajak masyarakat berubah. Misalnya, gerakan masyarakat cinta buku. Namun gerakan ini mandeg akibat masyarakat yang diajak tak terlebih dulu disadarkan bagaimana bermanfaatnya buku.

Namun bila kesadaran itu telah tumbuh, maka perubahan macam apapun akan mudah dilakukan. Contohnya, tentu kita masih ingat akan gerakan rakyat menuntut reformasi di era tahun 1988 lalu.

Kesadaran akan demokrasi membuat rakyat serentak bergerak hingga membuahkan hasil dengan tumbangnya rezim Orde Baru. Hal ini juga terjadi di Mesir belum lama ini, sehingga menjatuhkan rezim Mubarak.

Begitu ampuhnya kesadaran dalam membuat perubahan ini.

Lalu pertanyaannya, apakah kesadaran itu?

Agus Mustofa, memiliki uraian sangat baik soal kesadaran ini yang dia tuang dalam bukunya Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh. Menurut Agus, ”sadar” harus dibedakan dengan ”terjaga”. Sadar terkait ”memahami” dan ”menyadari” sesuatu yang terjadi pada diri dan lingkungan sekitarnya . Sedangkan terjaga hanyalah sekadar membuka mata (melek), alias tidak tidur atau pingsan.

Orang yang melamun, mabuk bahkan kesurupan, bisa dikatakan terjaga (melek). Namun tidak bisa dikatakan sadar. Karena ada kalanya dia tak menyadari dan memahami apa yang terjadi pada diri dan lingkungan sekitarnya.

Soal kesadaran ini juga bisa ditelaah dari dunia medis. Adalah dua profesor Graham Teasdale dan Bryan J Jennett, profesor bedah saraf di Universitas Glasgow's Institute of Neurological Sciences, pada tahun 1974 menerbitkan skala yang kemudian diberi nama skala koma Glasgow.

Menurut skala Glasgow, kesadaran seseorang dapat diukur berdasarkan reflek pada mata, ucapan dan motorik alias gerakan.

Seseorang dikatakan memiliki kesadaran penuh alias normal, ketika reflek matanya memiliki nilai 4, respon verbal alias ucapannya memperoleh nilai 5, dan respon motoriknya punya nilai 6. Sebaliknya seseorang dikatakan koma atau mati suri bila semua nilainya 1.

Lebih lengkapnya takaranya seperti ini. Mata: nilai 4 bila membuka mata tanpa stimulasi dalam kondisi terjaga penuh. 3 : bisa membuka mata jika distimulasi ditepuk tepuk badannya. 2 : bisa membuka mata hanya jika disakiti. 1: tidak bisa membuka mata no respond.

Verbal: nilai 5 bila bisa menjawab sesuai yang ditanyakan. 4 : bisa menjawab dengan kalimat, tapi tidak jelas. 3 : bisa menjawab dengan kata, tapi tidak jelas. 2 : hanya bisa menjawab dengan erangan. 1 : no respond.

Motorik: nilai 6 bila bisa bergerak sesuai yang diperintahkan. 5 : bisa bergerak ketika distimulasi melokalisir menepis stimulasi yang menyakiti. 4 : bisa bergerak ketika distimulasi sakit, tapi bersifat withdrawal menghindari sumber sakit. 3 : bisa bergerak ketika disakiti, tapi tidak mampu menghindar, cuma menekuk sendi. 2 : bisa bergerak ketika disakiti, tapi cuma reflek gerak sederhana meluruskan sendi. 1 : no respond.

Di sini, Glasgow mencoba mengkaitkan antara kesadaran seseorang dengan reflek fisik. Jika fisiknya tidak bisa merespon stimulasi dengan baik, maka secara bertahap kesadaran orang tersebut dianggap menurun, sampai pada suatu batas terendahnya yaitu koma alias mati suri.

Total nilai antara respon mata, verbal, dan motorik diberi angka 15. Jika seseorang memperoleh nilai akumulatif 15 berarti orang tersebut berada dalam kondisi 'sadar' alias ”terjaga” penuh. Jika di bawah angka 8, ia sudah dikategorikan sebagai koma.

Apa yang diukur Glasgow adalah sekadar nilai kuantitatif 'Kesadaran'. Sedangkan fungsi luhur adalah bersifat kualitatif. Pengukuran fungsi luhur seseorang biasanya diukur dengan metode psikotest.

Cukup dari sini, kita sudah bisa menelaah bahwa kesadaran yang bersifat kualitatif ini sangat berkait dengan fungsi akal seseorang. Kualitas kesadaran yang baik, menunjukkan fungsi akal yang juga baik. Sedangkan kualitas kesadaran yang jelek, menggambarkan fungsi akal yang juga jelek. Karena itu, kesadaran dan akal bisa menjadi parameter atas kualitas Jiwa seseorang.

Kualitas akal dan kesadaraan yang baik, menggambarkan fungsi jiwa baik dan sebaliknya. Namun jika akal dan kesadarannya rusak, maka jiwanya pun rusak, begitu pun sebaliknya.

Jadi kesimpulanya, orang hidup memang harus berubah. Tanpa perubahan, kita tak beda dengan manusia yang hidup ribuan tahun lalu. Tanpa perubahan, tentunya ras manusia akan musnah, karena hanya yang bisa menyesuaikanlah yang akan diterima alam.

Maka itu, tanamkan kesadaran. Dari kesadaran ini akan memunculkan kemauan yang selanjutnya akan mendorong untuk berubah, terus belajar, membuka wawasan, memperbarui paradigma, memperbaiki perilaku dan kebiasaan-kebiasaan.

Berubah! Berubah! Berubah! Oke, oke, oke! Tapi harus sadar dulu. Karena kalau masih tertidur, apalagi pingsan, tentu tak akan dapat melakukan perubahan. Ayo, bangun bangun bangun... berubah berubah berubah!

Tidak ada komentar: