Rabu, 10 Februari 2010



Peran DPRD sangat kurang, menuju gejla-gejal sentralistik. (ditarik ke pusat lagi)
Perbedaan psisi DPRD antara saat UU 22/99 dengan setelah turunnya UU 32/2004


Saat saat UU 22/99
1. DPRD bukan legislatif daerah yang terpisah dari eksekutif, persis DPR
2. menyusun anggran sendiri, memilih kepala daerah sendiri,
3. DPRD tempat kepala daerah melaporkan pertanggung jawaban. Bila pertanggung awaban kepal derah ditolak dua kali berturut-turut, maka DPRD bisa mengganti kepala daerah. Hl ini hanya bisa dibatalkan oleh pemerintah pusat, bila ada alasan yang sangat luar biasa.
4. Bila laporan pertanggung jawaban di akhir masa jabatannya (tahun ke 5) ditolak oleh DPRD, maka figur kepla daerah yang bersangkutan tak boleh mencalonkan lagi.

”Bayangkan betapa berkuasanya DPRD kala itu,” ungkap Ryaas.


Akibat kuasaan yang besar ini sehingga sering terjadi penyalah gunaan kekuasaan oleh oknum anggota dewan, sehingga banyak ditemukan skandal korupsi, atau terjadi permainan uang saat pemilihan kepal daerah tersebut.

Kasus yang paling sering ditemukan adalah pemerasan kepada eksekutif dengan ancaman akan menolak LPj, ”Kadang ada yang genit, LPj belum dibacakan sudah ngancap akan menolak,” tutur Ryaas.

Melihat masalah ini, maka timbul pemikiran di zaman Presiden Megawati untuk menghapus permainan uang dan penyalah gunaan wewenang ini. Maka keluarlah UU 23/2004.

Saat itu diambil keputusan agar pemilihan kepala daerah dipilih langsung. Sebenarnya di UU disebut bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis, tapi oleh Mega diartikan Pilkada langsung.

”Memang permainan uang (di DPRD) itu berakhir, tapi pindah ke rakyat,” seloroh Ryaas, yang disambut tawa hadirin.

Sementara itu, peran DPRD kian terkebiri. Akibat turunnya UU 23/2004, DPRD bukan lagi badan legislatif daerah namun bagian dari pemerintah daerah utnuk ikut menyelegarakan pemerintahan daerah.

Yang terjadi kebalikannnya dengan sebelumnya, kepala daerah tak lagi bertanggung jawab ke DPRD. Yang ada hanya memberikan laporan saja.

”Karena hanya laporan, tugas DPRD hanya mengoreksi, tapi tak bisa menolak,” ujar Ryaas.

Semua kewenangan DPRD saat ini dikembalikan ke pusat (baca: sangat lemah), sementara kewenangan kepala daerah tetap (baca: sangat kuat/berkuasa). ”Kepala daerah tetap otonom penuh, tapi tak bertanggung jawab kepada DPRD,” jelasnya.

Ini tentu menjadi logika yang sulit, karena sekali lagi menjadikan kepala daerah teramat ”powerfull”.

Menurut Ryaas, hal ini mengembalikan lagi posisi DPRD pada format UU nomor 5/1974. ”Mudah-mudahan direvisi UU 32/2004 itu,”harapnya.



Meski begitu, ternyata masih ada saja celah bagi DPRD untuk ”berkuasa”, sehingga menimbulkan keluhkesah dari kepala daerah.

Misalnya dengan ditemukannya kasus, banyak anggota DPRD yang membawa nitip ”Ini itu” saat APBD akan disahkan. Dalam hal ini yang berhubungan dengan proyek pribadi. Mereka meminta agar kepala daerah mau kompromi. Ulah inilah yang bisa mencederai kepentingan rakyat.

Ada juga ditemukan DPRD di masa lalu, memeriksa dokumen di dinas sampai ke kwitansi yeng nota bene adalah wewenang Badan Pemeriojsa Keuangan.

”DPRD itu kan pengawasan politik, bukan teknis. Temuan BPK itu hanya bisa dijadikan acuan untuk membuat kebijakan,” jelasnya.

Mestinya DPD memiliki tanggungjawab moral untuk menjaga fokus penggunaan anggaran.






DPRD harus terobsesi menjadi pahlawan rakyat. Seperti apa yang telah dilakukan oleh DPRD Buton.

Di sini ada perda yang membebaskan pedagang kecil dari segala pungutan. Ini adalah bentuk terimakasih pemerintah kepada rakyat yang masih mau bekerja secara halal. ”Untung mereka tak mencuri atau merampok,” ujar Ryaas.

Karena pemerintah yang baik adalah yang sedikit memungut pajak. Jangan seperti zaman penjajah. Semua dipajakin. Bila tak sanggup, barang-barang di sita,” contoh Ryaas.

Terkait hal ini, DPRD diminta untuk berbuat serupa. Ryaas mencontohkan soal kasus penggusuran yang dinilai tak prorakyat, akibat awalnya tak ditangani dengan baik.

Mestinya saat baru ditemukan ada pemukiman liar, langsung ditertibkan. ”Ini tidak, sudah ada RT/RW-nya, listri dan air sudah masuk, baru digusur,” sindirnya.



---------------------------


Benny K Harman

Saat ini banyak angghota DPRD terjerat kasus hukum setelah PP 110 keluar.
Terjadi banyak persoalan anggota DPRD dirproses hukum karena membuat pernyataan dugaan korupsi kepala daerah.

Padahal ini sudah sesuai dengan fungsi DPRD untuk menjalankan hak legislasi, pengawasan, dan anggaran.

Untuk menjalankan semua fungsinya ini, DPRD memiliki kekebalan hukum. Mereka bebas mengeluarkan pernyataan,. Pendapat baik di dalam maupun di luar ruang sidang.

Namun kenyataannya ada sekitar 10 kabupaten yang anggota DPRD-nya dijerat hukum saat melaksanakan fungsinya itu. Kekebalan hukumnya (imunitas) sudah hilang.



Namun kadang banyak anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi saat melaksanakan fungsi anggrannya. Hal ini disebabkan banyaknya mereka yang ikut urus proyek.
”Banyak anggota dewan yang merangkap jadi kontraktor, baik langsung maupun tak langsung” jelasnya.

Modus yang selama ini dilakukan adalah perusahaannya dilepas (dijalankan) kepada orang lain, atau memakai nominee, di mana mereka membuat perusahaan itu atas nama saudara atau kerabatnya. Yang menjalankan boleh siapa saja, tapi tetap juga nama sang oknum berperan di situ.

”Karena hal tersebut, banyak terjadi konflik kepentingan,” jelasnya.

Sasaran perusahaan-perusahaan ini adalah saat penyusunan anggaran. Saat itu, mereka memeras kepala daerah dengan cara meminta proyek. Akibat dari praktik ini, KPK menemukan 40 hingga 60 persen dana APBD hilang.

Semua ini akibat banyaknya proyek fiktif yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang ternyata bila diselidiki dimiliki oknum dewan tersebut.


Karena itulah di tahun 2010 ini KPK akan fokus memantau, memonitor APBD. Puncaknya, Komisi III DPR-KPK sudah melakukan pertemuan. Intinya mereka meminta agar anggota DPRD memperbaiki diri, atau KPK akan mengambil tindakan.

”Bisa bubar Republik ini,” ucap Benny, menirukan peringatan anggota KPK.

Makan uang banyak, tak memikirkan kehendak rakyat. Hal inilah yang membuat citra dewan rusak di mata publik.

Agar hal ini bisa berkurang, maka Benny meingimbau sudah saatnya DPRD mengubah manajemen pengadaan barang dan jasa








Tidak ada komentar: