Minggu, 30 Mei 2010

E T I K A

”Etika, ah... Apa itu? Bertele-tele, tak penting!” Begitukah jawaban kita saat ditanya soal etika? Mungkin di antara pembaca ada yang mengiyakan, ada juga yang membantah.


Hal ini juga seru diperbincangkan ketika seorang anggota DPR yang terhormat melontarkan kata (maaf maaf maaf..) ”bangsat” kepada lawat politiknya, di sidang Pansus Century, beberapa bulan lalu.

Yang mendukung tindakan sang legidlator mengatakan, seorang anggota dewan memang hakikatnya kebal hukum saat berkomentar. Ada undang-undang yang mengatur itu. Mereka bebas bicara apa saja baik di dalam maupun luar ruang DPR, karena memang mereka mewakili rakyat untuk berbicara.

Bahkan ada yang lebih jauh lagi. Ada yang mengatakan, itulah politik. Politik bisa dilakukan tanpa etika.

Namun, yang menentang luar biasa banyaknya. Yang kontra berkata, karena ”kebal hukum” lantas boleh bohong? Boleh bicara seenaknya? Boleh lakukan apa saja? Tanpa etika - bagaimana kita bisa bicara moral? Dan tanpa moral - apa yg bisa dibangun dari politik? Demi apa? Demi siapa?”

Ada lagi yang menambahkan, ”Politik tanpa etika itu seperti berteman tanpa toleransi. Saling menikam, mencaci dan menghujat.

Benar bahwa politik bicara soal kepentingan dan tujuan. Tapi mana ada kepentingan besar dan tujuan mulia bisa tercapai tanpa etika?”

Dan saya setuju pada pendapat yang kontra ini. Inti dari diskusi ini, bahwa kita semua bisa jadi apa saja, namun bukan berarti bebas etika. Karena bagaimana pun kita adalah bagian dari masyarakat.

Sedangkan masyarakat tumbuh dan berkembang karena dibangun oleh landasan etika. Bermula dari etika pribadi yang akumulasinya menjadi etika publik.

Dari etika inilah dunia modern dibangun, selain juga lewat ilmu pengetahuan dan diplomasi.

Karena itu, semakin maju masyarakat, semakin tinggi peradabannya, semakin tegas pula etika ini diatur. Jadi semestinya, semakin tinggi kedudukan seseorang, mestinya semakin tinggi pula dia menjunjung etika.

Semua ada etikanya, meski sebutannya bisa macam-macam, sesuai tatanan organisasi dan profesinya. Etika kepala daerah atau kepala negara disebut protokoler, wartawan juga punya etika jurnalistik, demikian pula polisi, TNI, hakim dan lain-lainnya itu.

Para preman juga ada etikanya. Bahkan "jadi" bis kota pun ada etikanya. "Sesama bis kota dilarang saling mendahului," begitu bunyinya.

Mau berbisnis hingga mencari hiburan juga ada etikanya. Intinya kita tak bisa bebas dari etika. Semuanya diatur oleh etika, tak hanya dalam bentuk tata cara, namun sudah dilembagakan lengkap dengan perangkat (aparat)pengamannya.

Karena pentingnya sebuah etika ini, di kota-kota moderen banyak berdiri sekolah etika. Di sana diajar cara berbicara, berpakaian, bahkan cara duduk pun ada.

Biaya untuk sekolah di sana tak murah. Pesertanya pun adalah orang yang memiliki stata yang tinggi. Ada sosialita, pengusaha, hingga pejabat setingkat gubernur pun ada.

Inilah etika.

Etika ini dibuat untuk menjaga keteraturan dan keberlangsungan hudup manusia itu sendiri. Sehingga aturan mainnya jelas dan indah. Serta yang paling penting tak mengusik kepentingan orang lain.

Etika ini penting, agar semua bisa melaksanakan aturan sesuai kesepakatan bersama. Bukan berdasar selera pribadi. Sehingga, akan menghasilkan kebenaran bersikap, bukan pembenaran.

Bila kita mengabaikan hidup tanpa etika, maka bersiaplah kita menerima orang-orang yang paling buas di antara kita. Tatanan sosial akan runtuh. Kebaikan akan segela lenyap di muka bumi. Ya, mana ada hal baik bisa tercapai ketika orang mengatakan semua boleh dilakukan.

Soal etika ini bukan hanya urusan manusia, tapi juga menjadi domain Tuhan. Karena itulah, agama ada. Agama, sebuah tatanan berlandaskan etika tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Tujuannya untuk menjaga agar umat manusia selamat dunia dan akhirat.

Dan ini dipertegas oleh Allah dalam firmannya dalam Alquran Surat Al Mukminun (70-71), ”Seandainya kebenaran itu mengikuti kehendak mereka sendiri, pasti akan binasalah langit dan bumi beserta segala, isinya”.

Sekali lagi, di sinilah perlunya sebuah etika. Etika adalah apa yang boleh dan tidak boleh. Dalam etika juga ada tanggung jawab. Semua ini nantinya akan mengacu kepada moral: landasan baik dan tidak baik, benar dan salah, adil dan tidak adil.

Etika adalah petunjuk pelaksana berlandaskan Moral. Jadi etika dan moral adalah masalah tindakan, pikiran dan maksud.

Nabi Muhammad sendiri diutus untuk memperbaiki Ahlak manusia. Salah satu pengertian ahlak adalah etika itu sendiri. Di sini selain ada aturan dan norma tentang hubungan antara sesama manusia, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan, bahkan hubungan dengan alam sekitarnya.

Muhammad sendiri adalah nabi yang tak diberikan mukjizat berupa kecerdasan, namun dia memiliki sifat yang baik. Mengacu kepada garis keturunan Nabi Ismail, putra nabi Ibrahim, yang memiliki etika dan moral yang tinggi.

Berbeda dengan nabi-nabi terdahulu, yang diutus dari garis keturunan nabi Ishaq, yang memiliki mukjizat yang hebat-hebat dan kecerdasan yang tinggi.

Namun, Allah melihat banyak dari ummat mereka yang kemudian tersesat. Karena kecerdasan, tanpa diimbangi landasan etika dan moral ternyata tak membuat tatanan kehidupan lebih baik.

Maka diutuslah Muhammad untuk menyempurnakan ahlak manusia. Dan beliau menjadi nabi terakhir.

Karena itulah dalam Islam, masalah etika ini diatur sangat tegas dan jelas. Semua ada etikanya, mulai mau makan, kekamar mandi, berbicara, bertutur sapa, bahkan bersin pun ada. Etika tak hanya diatur kepada sesama manusia, bahkan kepada hewan pun ada.

Etika ini hadir, lengkap dengan ganjaran dan dosa-nya. Ganjaran dan dosa ini untuk siapa? Tentu bukan untuk Allah, melainkan untuk ummat manusia itu sendiri. Logikanya, alam semesta ini merupakan suatu rangkaian yang terikat. Bila salah satu sistemnya tergangu, maka akan rusaklah tatanan itu.

Jadi bila mereka berbuat amal, hakikatnya mereka telah menjaga kehidupan itu sendiri. Sebaliknya, bila berbuat dosa maka sama artinya menganiaya diri sendiri.

Karena cepat atau lambat, dampaknya akan berbalik menyerang si pendosa itu sendiri.
Dari sini, masihkah kita memperdebatkan lagi akan pentingnya sebuah etika?

Tidak ada komentar: