Rabu, 05 Mei 2010

Hati Hati Hati

Seorang teman saya menulis sebuah status di Facebook-nya. “Mana mending, sakit hati atau sakit gigi?”


Unik sih, mengingatkan kita pada sebuah lagu dangdut yang meledak di tahun 1990-an, nyanyian almarhum Meggy Z. “Dari pada sakit hati, lebih baik sakit gigi ini... Biar tak mengapa...” begitu petikan refrain-nya.

Saya setuju pada syair lagu ini. Ini adalah ungkapan yang sangat cerdas, meski bersahaja. Karena, apapun namanya, sakit hati itu sangat tidak enak. Dan sayapun menjawab begitu di status Facebook itu.

“Maksud hati di sini apa? ‘liver’, ‘heart’ jantung, atau ‘kalbu?" di Indonesia, kadang hati punya banyak makna, bisa hati dalam arti organ tubuh, jiwa/perasaan/sanubari juga. Tapi gini aja, saya pilih sakit gigi... landasan pemikiran saya, karena penyakit fisik jarang merambat ke psikis, sementara kalau psikis yang sakit, biasanya akan mudah ”nyertrum” ke fisik... (psikosomatis)... jadi, mending jangan hatilah yang sakit... kata nabi, ada segumpal daging, jika itu baik maka baik juga semuanya... daging itu adalah kalbu (hati).”

Cukup panjang juga karakter yang saya tulis di kolom komentar itu.

Melihat bahayanya penyakit hati, saya jadi ingat tulisan Dahlan Iskan, Ganti Hati. Betapa mahalnya, biaya saat dia melakukan operasi ganti hati (liver), akibat hatinya digerogoti sirosis. “Kini ada Mercy di perut saya,” ungkap Chairman Jawa Pos Group itu, menggambarkan betapa mahalnya biaya operasi itu. Belum lagi perawatan pascaoperasi. Harga obatnya saja mencapai Rp10 juta perbulan! Luar biasa.

Ada sebuah tesis yang mengatakan, ada tiga penyakit yang diderita manusia: penyakit jasmani/fisik, penyakit jiwa/psikis, dan penyakit ruh. Zaman dahulu orang percaya bahwa penyakit itu datang karena ada ganggua roh jahat, sehingga pengobatannyapun harus dilakukan dengan teknik pengusiran roh jahat tadi. Biasanya kaum agamawan dan dukun sering didatangi warga untuk mengusir roh jahat tadi.

Di Barat, praktik ini juga dikenal, dengan apa yang disebut exorcism. Namun, teori bahwa penyakit disebabkan gangguan roh jahat ini mulai sirna ketika Descartes, di zaman renaisans, manusia mulai menemukan bahwa diri manusia itu terdiri dari dua bagian: Jiwa dan tubuh. Inilah yang menjadi cikal bakal penemuan ilmu kedokteran moderen ala barat. Kuncinya, dokter hanya bertugas menyembuhkan tubuh dan tak mau berhubungan dengan jiwa.

Hingga di zaman New Age, sebuah zaman yang memunculkan suatu gerakan spiritual, orang percaya bahwa jiwa menguasai tubuh manusia (mind over matter). Di sini mulai berbicara bahwa penyakit tubuh disebabkan oleh gangguan jiwa. Hal ini juga yang melatar belakangi seni pengubatan ala Timur, yang memang menganalisa penyakit berdasarkan kondisi jiwa. Jiwa harus tenang, maka akan sehat. Maka muncullah seni tata ruang, meditasi, dan sebagainya itu.

Namun dewasa ini para ahli mengatakan justru ruh menusialah yang menentukan keadaan tubuh dan jiwa (spirit over matter and mind).

Namun tesis tersebut disanggah oleh Agus Mustofa. Penulis buku-buku tasawuf populer ini kurang setuju bila ruh memiliki penyakit. Ruh tak bisa kena penyakit, karena ruh adalah sifat-sifat ilahiiah yang ditularkan saat penciptaan.

Agus juga kurang sepakat bila hati diartikan sebagai ruh. Menurutnya, dalam Alquran istilahnya sudah dibedakan. Hati (qalb), jiwa (nafs), dan ruh (ruh). Lebih jauh, hati kualitasnya bisa naik turun, sedangkan ruh tidak. Dia tetap stabil, suci tak bernoda, apalagi berpenyakit.

Lalu apakah hati itu? Segumpal daging di dalam dada yang bisa bergetar. Ketika senang dia bergetar, ketika sedih bergetar dan seterusnya. merujuk dari hal ini, maka jelaslah sudah, jantung yang dimaksud.

Namun Agus sepakat, bahwa yang bisa kena penyakit adalah hati yang kemudian menular ke jiwa. Penyakit hati itu di antaranya, ujub atau mengagumi (amalan) diri sendiri, takabbur, dengki, ghibah dan sebagainya. Selanjutnya, penyakit ini akan berpengaruh melahirkan penyakit jiwa, seperti perasaan cemas, sedih luar biasa, jengkel, kecewa, dendam, stress dan sebagainya. Ujungnya juga akan bermuara pada penyakit fisik.

Memang tak semua penyakit fisik dipicu oleh penyakit hati dan jiwa tadi, namun banyak ditemukan bahwa penyakit hati dan jiwa mampu memicu munculnya penyakit fisik tersebut. Bahkan lebih massive lagi; penyakit sosial/masyarakat.

Agak sedikit kaya tafsir memang, antara ruh yang diartikan sebagai hati atau bukan. Namun, orang kebanyakan umumnya menyebut hati itu adalah perasaan. Saya rasa ini diciptakan untuk penyederhanaan dari difinisi tadi.

Dari sini kemudian memunculkan sebuah diagnosa penyakit hati. Disebut penyakit, karena deretan sifat tersebut membuat hati jadi tak berfungsi dengan baik. Jalaluddin Rakhmat, pakar psikologi komunikasi yang juga dikenal dengan "mazhab Jalal" menjelaskan, hati menurut imam Al Ghazali, adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Alah SWT. Allah telah menciptakan hati sebagai tempat Dia bersemayam.

Sebuah hadis Qudsi Allah berkata, “Langit dan bumi tak dapat meliputi-Ku. Hanya hati manusia yang dapat meliputi-Ku. Di hadis Qudsi lain Allah berkata, Hai anak Adam, Aku telah menciptakan taman bagimu dan sebelum kamu bisa masuk ke taman ciptaan-Ku, aku usir syetan dari dalamnya. dan dalam dirimu ada hati yang seharusnya menjadi taman yang engkau sediakan bagi-Ku.”

Hadis ini menunjukkan bahwa fungsi hati adalah untuk mengenal Tuhan, mencintai Tuhan, menemui Tuhan, dan pada tingkat tertentu, akan mampu melihat atau berjumpa dengan-Nya. Hati yang berpenyakit ditandai denagan tertutupnya mata batin kita dari penglihatan-penglihatan ruhaniah.

Mengutip sang ahli tafsir Alquran, Profesor Quraish Shihab, bila ingin berbicara kepada Tuhan, shalat lah! Pasti Dia dengar. Bila ingin Tuhan berbicara kepada Anda, baca kitab-Nya! Hati akan mendengar bila bersih.

Sebuah pengantar di buku Verbally Abused Relationship menulis sebuah penilaian yang sangat kontras bila hati tak bersih, ”Jika engkau tak suka pada seseorang, cara mengangkat sendoknya saja akan membuatmu tersinggung. Namun jika engkau suka kepada seseorang, sekiranya piring dilempatkan ke pangkuanmu, engkau akan tertawa gembira.”

Sebuah kisah lain mengatakan, bila hati kita bersih, kita akan mampu melihat perwujudan asli manusia di sekeliling kita. Amalannya yang akan membuat mereka tampak seperti binatang, apakah monyet, babi, dan sebagainya. Sedangkan orang yang berhati bersih, maka akan tampak seperti cahaya.

Ada kisah lagi, Allah pernah berfirman pada Nabi Musa agar bila ingin menghadapNya lagi, dia harus membawa orang di mana dia bisa berkata bahwa dia (nabi Musa) lebih baik dari orang tersebut.

Nabi Musa-pun sibuk mencari orang yang dia pandang lebih rendah darinya. Namun, semua sia-sia. Karena tiap orang yang dia temui, memiliki kelebihan dan kekuranagan dibanding dirinya.

Merasa lelah, Nabi musa memutuskan membawa binatang saja. Namun sama saja. Dia melihat burung merak. Di satu sisi Musa merasa lebih baik dari sang merak, namun di sisi lain, bulu merak itu lebih baik dari bulu manusia.

Akhirnya, Musa membawa seekor anjing kurap. “Ah, mungkin inilah yang nanti aku dapat berkata kepada Allah, bahwa aku lebih baik darinya,” pikirnya Namun entah mengapa, anjing itu dia lepaskan lagi.

Kemudian Musa menghadap Allah dan mengatakan tak bisa menemukan seorang pun yang dia bisa katakan bahwa dia lebih baik darinya. Allah pun berfirman, “Demi keagungan-Ku dan kebesaran-Ku, sekiranya kamu datang kepada-Ku dengan membawa seseorang yang kamu pikir kamu lebih baik daripadanya, aku akan hapuskan namamu dari daftar kenabian.”

Luar biasa dampa dari penyakit hati ini, sampai-sampai Allah akan mencoret kenabian Musa. Karena dengan demikian, Nabi Musa telah masuk dalam golongan mahluk yang takabur, sama seperti syetan saat diusir dari syurga, karena merasa lebih baik dari Adam.

Sampai-sampai Nabi Muhamad pun, yang sudah dijamin kesucianya, masih berlindung dari beragam penyakit hati ini.

“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak kenyang, mata yang tidak menangis, dan doa yang tidak diangkat.”

Tidak ada komentar: