Sabtu, 12 Maret 2011

Generasi C, Generasi Digital (3)

Ekonomi Baru

Era digital membuat perilaku berubah, kini manusia sudah jarang bersentuhan dengan fisik. Semua dipres menjadi bit-bit data. Buku, uang, film, promosi, konsultasi, bayar tagihan, kampanye, bahkan cari jodoh dan lain-lain semua sudah dalam bentuk digital. Semua serba paperless semua serba online.


Hal ini juga mendorong ”gaya baru” semua profesi dan bisnis. Mau wartawan, aktivis, ekonom, jasa pos, tiket, hiburan bahkan dukun, penjual sate, supir taksi dan pengojek pun terkena imbasnya. Mereka minimal punya ponsel untuk menunjang aktivitas bisnisnya.

Lembaga riset Ericsson (2010) menyebut, ada lima sebab mengapa masyarakat Indonesia gandrung pada teknologi mobile.

Agar dapat dihubungi terus menerus, menguatkan kegiatan bisnis, simbol modernitas kehidupan seseorang, kemampuan menembus batas-batas sosial, dan sebagai alat mengurangi stres.

Semua ini telah mendorong perubahan besar wajah industri kita.Chris Anderson, pemimpin redaksi majalah Wired belum lama ini pernah berkata seperti ini, digital economy menjanjikan sebuah revolusi.

Hal ini didasari fakta bahwa marginal cost (tambahan biaya) terhadap menufacturing dan distribusi dalam dunia digital adalah nol atau akan mendekati nol.

Di dunia digital mampu membuat struktur biaya rendah atau mendekati rendah dan orang menjual apa saja yang dihasilkannya super murah atau hampir gratis. Dengan demikian, para ekonomi baru itu mendapatkan audience. Dan audience inilah sumber pendapatan.

Apalagi seiring meningkatnya golongan menengah dengan income perkapita 3 ribu dolar AS yang semuanya memiliki/terhubung ponsel (50 persen punya smartphone) sehingga industri kian kreatif mengais sen-demi sen uang mereka. Maka bermunculanlah usaha low cost bahkan gratis namun memberikan kualitas/layanan premium (freemium).

Lihat saja bagaimana siaran televisi, situs internet, seperti detik, yahoo, google, hingga jejaring sosial, semua berlomba menyajikan layanan gratis. Yang mereka jual bukanlah layanan pada user, melainkan content perview atau jumlah pembaca pada pengiklan.

Hal ini disusul kian murahnya pulsa telepon, setelah Hasnul Suhaimi, CEO XL Axiata tampil sebagai pembaharu industri selulet dengan merbah tarif komunikasi secara radikal. Pada 15 Juli 2007 Hasnul memangkas tarif voice ke sesama XL menjadi Rp1 rupiah perdetik begitupun ke operator lain, mulai Rp10 perdetik sejak detik ke 121.

Gebrakan ini kemudian diikuti oleh yang lain, sehingga menelepon lewat ponsel bukan lagi hal yang ”membanggakan”.

Banyak lagi layanan freemium yang mengguncang dunia akibat semakin merebaknya dunia digital ini. Lihat saja bagaimana dunia diguncang fenomena tiket pesawat murah (low cost carrier), di susul kemudian hotel murah. Bahkan di Bali ada hotel yang diiklankan di internet yang sewanya hanya Rp28 permalam! Ini nyata. Harga kendaraan bermotor dan elektronik juga kian murah dan mudah dimiliki.

Atau mungikin kita sudah biasa mendengar ada promo restoran, sajian bintang lima, tarif kali lima dan waralaba dengan branding menarik gaya desa mengepung kota. Ini adalah kerja kreatif pengusaha mikro (entrepreneur baru) yang bermunculan era digiatal ini. Mereka memanfaatkan ponsel dan jejaring sosial untuk membranding, promosi, dan menunjang kemudahan transaksinya.

Promosi saat banyak yang tak memakai biaya, karena memanfaatkan media online yang penetrasinya mudah, murah dan cepat. Lihat saja di halaman fecebook dan twitter Anda, berapa banyak orang menjajakan baju, atau bahkan ”menjual diri ” saat musim kampanye tiba. Di sini juga orang bisa belanja langsung. Sarana shopping online inilah yang mengakibatkan sepinya mall. Ini fakta dan sudah etrjadi di Amerika.

Sementara itu di Jakarta, pegojek Bintaro-Rempoa memanfaatkan blog untuk jasa antar jemput. Yang leboh heboh, kini paranormal pun menjual ramalan lewat SMS. Tak hanya penguaha kecil, beberapa perusahaan lokal, sekelas J.Co, AXIS, Domino Pizza hingga Toyota Astra Motor juga intens berpromosi di jejaring sosial.

Di industri hiburan perubahannya lebih pesat lagi. Kemunculan artis-artis berbakat lebih pesat. Tentunya kita tahu Justin Bieber. Dia dikenal setelah sang ibu tak mengunggah bakat menyanyinya di Youtube. Rekaman inilah yang membuat User tertarik mengorbitkannya. Contoh lain, saya tak perlu lagi bercerita siapa itu si Keong Racun, Sinta dan Jojo kan?

Era digital juga membuat industri musik bergairah lagi, setelah lesu dihantam pembajakan. Era digital yang membuat semua terhubung, membuat pola kerja artis dalam mencari uang berubah. Mereka kini tak hanya mendapat untung dari hasil jual CD, tapi dari bisnis turunannya, berupa ring back tone, bintang iklan, dan frekuensi manggung.

Kini artis-artis itu tak perlu bikin album, cukup bikin single saja, bila itu laris di ring back tone, maka sudah bisa makmur. Fenomena inilah, yang juga membuat musisi mempersilakan agar lagunya dibajak. Malah banyak yang sukses ditarik produser rekaman, setelah kasetnya laris dibajak. Kangen Band contohnya. (***)

Diperkaya referensi dari buku Craking Zone Rhenald Kasali.

Tidak ada komentar: