Senin, 07 Maret 2011

*** Rumah, Pohon, dan Emak ***

Agar suasana tak tambah kaku, saya kemudian menyodorkan kertas HVS kosong dan pena.
”Gambarlah.”
”Saya tak bisa gambar Om.”
”Santai saja. Gambarlah apa saja. Rumah, pohon, ayah, ibu,” desak saya.

Tn menurut, kemudian dia mulai menggurat. Titik berubah jadi garis, lalu lengkungan membentuk sebuah pola. Saya meminta Tn menggambar bukannya tak punya tujuan.

Sebuah buku Hand Writing Analysis, karangan Karen Kristin Amend, Mary Stansbury Ruiz pernah mengurai bahwa kita bisa mengenal kepribadian seseorang melalui tulisan tangannya. Inilah yang disebut grafologi.

Memang saya tak meminta Tn menulis atau menganalisa tulisannya, saya hanya meminta dia menggambar. Sebenarnya yang lebih tepat menganalisa di sini adalah analisa gambar dalam psikologi, bukan grafologi. Di sana diajar bagaimana mengenal jiwa seseorang melalui gambar. Tapi saya rasa menghubungkan antara keduanya juga lebih bagus.

Toh dari sana saya tetap bisa menganalisa pola tekanan garis, maupun gambarnya. Saya berpendapat, sebagaimana di buku tersebut yang menulis, bahwa dunia ibarat sebuah halaman, di mana setiap orang harus menulis halamannya masing-masing di dalamnya.

Halaman tulisan sebagai latar belakang tulisan itu sendiri, dapat dianggap sebagai tempat, panggung atau ruang hidup individual di mana drama kehidupan ini berlangsung dalam jalinan pola-pola tulisan tangan.

Dilihat dalam satu kesatuan pola tulisan tangan menggambarkan bagaimana indivisu mengisi ruang hidupnya. Dengan cara ini kita dapat mengetahui perkembangan kehidupan seseorang dalam bertindak, ekspresi fisik, mental, emosi, dan keadaan fisiknya.

10 menit berlalu. Tn sudah menyelesaikan gambarnya. Dia melukis sebuah sketsa. Pada sisi kanan ada sebuah rumah yang didepannya berdiri gambar orang setinggi rumah itu, yang dia tulis ”Tn”, namanya sendiri. Lalu jauh di sisi kiri, ada dua orang berdiri berdekatan. Dia beri nama ”Mamak” dan ”Bapak”. Di bawah ke duanya ada sekumpulan rumput yang dia gambar dalam kotak.

”Wah, benar, ternyata kamu suka di luar rumah ya? Ini buktinya” ujar psikolog Mahmud Syaltut Usfa yang juga ikut dalam perbincangan ini. Tn hanya menjawab lirih sambil menunduk, ”Iya Om, saya memang suka main di luar. suka keluyuran.”

”Saya lihat, dari gambarmu ini, kamu juga lebih dekat ke ibu?” lanjut Syaltut yang juga pendidik di Hang Nadim Malay School itu.

Tn hanya mengangguk. Tiba-tiba air mukanya memerah, butir-butir air bening keluar memenuhi pelupuk, lalu tumpah, meluncur ke luar. Dia menangis. Cukup lama dia menangis.

***

Lama sudah Tn menangis. Meski suaranya tak keluar, namun dadanya terguncang hebat. Sesekali tangan kecilnya mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

Mungkin inilah yang disebut para psikolog bahwa, dalam setiap tahap kedewasaan, seseorang mempunyai sederet kebutuhan. Jika kebutuhan-kebutuhan itu tidak dapat terpenuhi, seseorang akan mengalami kebekuan kepribadian. Saat itu, ia akan menghadapi kondisi stagnan di tahap itu.

Inilah yang dialami Tn saat ini, sehingga dia sampai menangis.
”Mengapa menangis?” saya coba bertanya, setelah tangisnya reda.
”Saya sedih teringat orangtua.”

Tn mengisahkan, setelah dirinya ditangkap dan menghuni sel Mapolsek Lubukbaja, dia kadang menangis memikirkan orang tuanya, terutama ibunya. Sampai-sampai dia tak bisa tidur.

Namun, sayang sejak dia masuk Senin, 28 Februari lalu, hingga saat wawancara ini dilakukan pada Sabtu, 5 Maret, ibunya belum datang bertandang. ”Baru bapak yang datang hari Rabu (2 Maret),” akunya.

”Mengapa begitu? Bukankah katanya kamu lebih dekat pada Mamak?”
Tn tak menjawab, hanya kembali menangis.

Setelah reda, Tn mengatakan dia ingat ibunya karena rindu berbincang, dan merasakan saat-saat ibunya membimbing dia mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dari sekolah.

”Apa Mamak sayang sama kamu?” saya penasaran. Namu Tn hanya diam.
”Pernah dipukul?”
”Sering,” jawab Tn.

Saya terkejut mendengar jawaban ini. Belum selesai rasa kaget, Tn kembali dengan lirih mengungkap, sejak kecil dia sering dipukul ibunya dengan kayu yang sudah disiapkan sebelumnya. Kebiasaan ini baru berhenti kala dia berumur 12 tahun.

Tak puas hanya memukul, Tn sebelumnya dimaki dengan kalimat-kalimat kasar. ”Saya dimaki dulu baru dipukul. A****g kau, b**i kau,” jelasnya.

Sementara itu, kebaikannya tak pernah dipuji. ”Mungkin karena saya yang bandel,” ujarnya. Meski begitu, Tn mengaku sayang pada orangtuanya. Apalagi setelah masuk sel ini.

Selain kangen orang tua, Tn juga kangen teman-temannya di sekolah. Terutama Vj, teman akrabnya. ”Dia baik, bisa diajak curhat. Bahkan juga sering membantu buatkan PR,” sebutnya.

Tn kembali menangis.

Setelah reda, kembali dia berkisah tentang impiannya kelak. Karena sama seperti anak-anak SD lainnya, Tn memiliki dunia yang penuh impian.

”Saya ingin jadi tentara,” jelasnya. Cita-citanya ini diilhami kegemaranya nonton film perang. ”Saya ingin bela negara,” sambungnya lagi.

Di sekolah, pelajaran yang paling disuka Tn adalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Alasannya, karena IPA banyak menjelaskan soal lingkungan dan kejadian, sedangkan IPS sarat akan kisah-kisah kebebasan.

Selain itu Tn juga suka berolah raga. Basket dan aerobik menjadi favoritnya. Bahkan dia sering dia membawa kaset dari sekolah, untuk belajar senam sehat di rumah. (habis)

Tidak ada komentar: