Kamis, 03 September 2009

Petuah Ayah untuk Regalia

Dulu, masih saya kecil, ayah sering menitip pesan bijak pada ku melalui lagu. Maklumlah, ayah seorang musisi. Dan kini setelah saya dewasa, hal itu terulang lagi pada anak saya. Regalia.


Lagu yang ayah nyanyikan dulu, saya nyanyikan kembali, sembari memberi nasihatlah. Syukurlah, Regalia pun suka.

Lagu ayah yang sering saya nyanyikan sebagai nasihat adalah yang ini.

Belajar di waktu kecil
Bagai mengukir di atas batu

Belajar sesudah dewasa
Laksana mengukir di atas air

Ilmu dunia akhirat
Wajib dituntut dipelajari

Dari kecilah engkau mendapat
Sudah Dewasa berguna kemana pergi

Belajar di waktu kecil
Bagai mengukir di atas batu

Belajar sesudah dewasa
Laksana mengukir di atas air

Jangan sedih yatim piatu
Tiada berayah tiada beribu

Tapi sedihlah tak punya ilmu
Jalan mana.. yang mana hendak dituju

Belajar di waktu kecil
Bagai mengukir di atas batu

Belajar sesudah dewasa
Laksana mengukir di atas air…


Inilah mungkin salah satu alasan, mengapa ayah rela menghabiskan hartanya, demi melihat anaknya berilmu.

Kami adalah keluarga besar, ada 9 kakak beradik. Ayah dulu adalah seorang yang jaya dalam berbisnis. Namun, di akhir hayatnya ayah tak meninggalkan warisan harta pada kami. Hanya ilmu pengetahuan.

Saudara-saudara kami semua di sekolahkan hingga ke perguruan tinggi di Jawa. Di masa itu (Tahun 1970-an) masih jarang warga di kampung kami studi di universutas.

“Ayah lebih baik melihat kalian berilmu, dari pada kalian ayah belikan kemewahan dunia. Yang penting sekolah,” ujarnya saat itu.

Pernah di tahun 1985-an saya merengek ingin sepeda motor, ayah tak bisa meluluskan permintaan ini.

“Nak, bila harta yang ayah belanjakan untuk pendidikan kakak-kakak mu, ditukar dengan sepeda motor, mungkin lebih dari harga 10 sepeda motor,” ujarnya tersenyum.

Menurut ayah, orang akan terhormat bila mempunyai ilmu. Pendiriannya tetap teguh, meski kakak kami yang saat itu baru di wisuda, belum juga mendapat kerja.

“Percayalah Nak, tak ada istilahnya orang berilmu itu nganggur. Suatu saat, ilmu kakakmu pasti berguna,” tegasnya.

Jawaban ayah ini sekaligus menepis anggapan orang di kampung kami yang selalu berperinsip, buat apa sekolah tinggi-tinggi toh nanti nganggur.


Selain lagu itu, ayah sering melantunkan sebuah lagu dari orkes El Suraya Medan, orkes gambus tahun 50-an berirama swing. Judulnya Fatwa Orang Tua.

Syairnya seperti ini;
Bila diri ingin dikenang, semailah benih di tengah sawah
Bila diri ingin dikenang, semailah benih di tengah sawah

Bawalah ilmu, padi di ladang tambah berisi tunduk ke bawah
Bawalah ilmu, padi di ladang tambah berisi tunduk ke bawah

Bila diri ingin terpandang, jauhi kata tinggi melambung
Bila diri ingin terpandang, jauhi kata tinggi melambung

Jauhi sifat ayam di kandang, bertelur satu ribut sekampung
Jauhi sifat ayam di kandang, bertelur satu ribut sekampung

Jauhi sifat mengaku pandai, angkuh dan sombong menepuk dada
Jauhi sifat mengaku pandai, angkuh dan sombong menepuk dada

Ingat petuah penyu di pantai, telur beratus namun tak bangga
Ingat petuah penyu di pantai, telur beratus namun tak bangga

Bila ingin harum bak mawar, jauhi sifat meninggi diri
Bila ingin harum bak mawar, jauhi sifat meninggi diri

Bisa ular tidak kan tawar walau menyuruk batas berduri
Bisa ular tidak kan tawar walau menyuruk batas berduri



Anakku Regalia, demikianlah…


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ternyata syair jadul sangat-sangat bermakna dan mendalam, jauh menerawang kelubuk hati.