Sabtu, 14 November 2009

Pembunuh (Mental) Gajah

Gajah. Siapa yang tak kenal akan binatang ini, mamalia darat terbesar, tergagah, terkuat, terperkasa di muka bumi setelah era dinosaurus. Tak heranlah bila sebelum era tank, gajah menjadi mesin tempur yang tangguh. Meski begitu, sebenarnya kekuatan gajah ini sangat mudah dilumpuhkan.


Bagaimana cara agar gajah tak mampu mengeluarkan ”kekuatan” gajahnya? Jawabnya, dengan mempengaruhi sistem berpikirnya (kognisi). Hal inilah yang diterapkan di tempat pelatihan Gajah, seperti Way Kambas dan lain-lain.

Saat itu, sedari kecil, gajah diikat dengan sebatang bambu. Tujuannya, agar tak mudah lepas dan gajah pun tak mampui berlari ke mana-mana. Semula, gajah kecil itu berusaha meronta dan melepaskan diri. Namun karena tenaganya masih lemah, maka usahanya gagal. Dia mencoba lagi, gagal lagi.

Hingga akhirnya dia terbiasa akan keadaan ini. Hal ini, terus terbawa hingga sang gajah tumbuh dewasa. Meski sebenarnya jika mau, tenaganya akan sangat mampu mematahkan batang bambu itu, namun dia tak lagi mau mencoba.

Saat itu kognisi sang gajah sudah terbentuk, semasa kecil saja saya tak mampu melepaskan diri, jadi buat apalagi. Maka, jadilah sang gajah tunduk dalam ikatan bambu. Kognisinya membuat dia tak mampu lagi mengeluarkan kekuatan gajahnya yang luar biasa itu.

Kisah sang gajah yang tak mampu mengeluarkan mental gajahnya ini, bisa saja menimpa manusia. Kita sering melihat, betapa intuisi atau bahkan pemikiran besar manusia, bisa dihancurkan dengan cara mempengaruhi kognisinya.

Dulu zaman Orde Baru, cara-cara ini sering dijumpai. Bagaimana saat itu penguasa menekan kebebasan berpikir, dengan menghantui rakyat melalui cara-cara intimidasi. Akibatnya, banyak saat itu orang menjadi ngeri bila melihat tentara. Jangankan ngomong kritis, berdiri saja sudah gemetar.

Jadi jangan heran, bila saat itu orang lebih banyak bungkam. Saat rapat, hanya datang, duduk, diam. Ya bagaimana mau ngomong, baru membuka mulut saja langsung dibungkam. Bila ada yang berani memberi masukan, apalagi mengkritik, bisa fatal.

Kalau hanya tak dianggap saja masih mujur, kadang masih diancam, teror dan lain sebagainya, sehingga membuat orang-orang kritis ini berpikir 1.000 kali bila akan mengeluarkan pemikirannya. Maka jadilah, ”kekuatan gajah” mereka lumpuh.

Tak usah terlalu jauh dan besar kita mengurai. Saya memiliki kawan yang sangat cerdas. kreatif, pemikirannya bagus, bicaranya juga lugas. Bila di mimbar, wah, bagai Soekarno saja. Saya kagum.

Namun, setelah saya kenal lebih dekat, ternyata sang kawan tak berkutik menghadapi sang istri. Bila di depan istrinya dia menjadi ”yes man”. Nunduk-nunduk dan gagap.

Saya penasaran ada apa gerangan. Jawabnya sungguh di luar dugaan. ”Otak saya buntu bila di depan dia,” akunya.

Dia lalu mengurai, ternyata selama berumah tangga, sang istri tak pernah mendengarkan pendapatnya. Baru buka mulut saja, langsung dipotong. Intinya, apa yang keluar dari mulut sang suami selalu salah. Dan si istrilah yang benar.

Lalu, bagaimana bila mereka dihadapkan pada masalah rumah tangga yang memerlukan pemecahan bersama? ”Ya, dia biasanya nelepon ibunya. Pokoknya saya tak pernah dilibatkan, tak pernah dianggap, pendapat saya tak pernah dihargai. Maka itulah, otak saya buntu bila berada di dekatnya. Kognisi saya berkata, buat apa ngomong, toh tak akan dianggap,” curhatnya.

Wah, rupanya kekuatan gajah kawan ini sudah mati. Bagaimana dengan "gajah" Anda?

Tidak ada komentar: