Senin, 30 November 2009

Tour of Duty

Tak ada yang lebih seru dari pada saat melihat anak manusia mementaskan lakon menghadapi mutasi. Wah, rasanya lebih dahsyat dari menghadapi kematian.

Kenapa saya bilang demikian? Ya, karena orang yang bersiap menghadapi kematian, masih ingat salat, ingat Tuhan. Namun tidak halnya dengan menghadapi mutasi, lupa segalanya.

Makan tak enak, tidur tak lena, kerja juga tak tenang. Salat? Ah, karena sterlalu sibuk meresahkan diri sendiri, sampai-sampai yang satu ini terlupa.

Di kantor mendadak mereka meng- ad interim-kan diri. “Ah, buat apa bikin terobosan, iya kalau tetap, kalau dimutasi kan capek,” begitu pikirnya.


Ya, mereka resah. Karena tak tahu nasib apa yang akan menimpa. Pertanyaan keraguan terus berulang di benak.

Oh…. Bagaimana nanti bila saya diganti?

Apakah nanti di tempat baru akan lebih enak atau sebaliknya?

Kalau lebih enak, tak masalah, kalau tidak, apa kata orang?

Apalagi selama ini sudah banyak menyombongkan diri, meremehkan bawahan, merendahkan dan menghina orang lain.

Kalau nanti posisi saya lebih buruk, apa kata mereka yang saya rendahkan?

Bagaimana bila mereka balik menyerang saya?

Bagaimana kalau mereka yang saya hina, malah yang nanti jadi atasan saya?

Bagaimana kalau fasilitas yang selama ini saya dapat, tiba-tiba menghilang?

Apa kata orang?

Bagaimana kelanjutan proyek fiktif saya?

Bagaimana kelanjutan korupsi saya?

Ke manakah nanti upeti dan setoran saya?

Bagaimana nasib kongkalikong, dan kepentingan saya?

Bagaimana nasib keluarga saya?

Bagaimana nasib cicilan kreditan saya? Panci belum lunas, kompor masih tinggal tiga angsuran, sepeda pancal baru saja cicilan pertama.

Oh…. Oh…. Oh…

Bila nanti dimutasi ke tempat kering, fasilitas ditarik, setoran dan upeti hilang, dari mana mau bayar aneka kreditan itu? Kan uang yang digunakan untuk membayar banyak diambil dari fasilitas yang didapat dari jabatan yang sekarang.

Oh… Akan kemanakah diri ini.

Dan lihatlah, wajah-wajah absurd, putus asa, berkeliaran di mana-mana. Entah kemanakah wajah pongah yang selama ini mereka kenakan.

Namun bila berjumpa dengan petingginya, tingkahnya mirip kucing, atau anjing? Lidahnya menjulur, tubuhnya dikibaskan ke kaki sang tuan, seolah berkata,

“Wahai tuan, inilah aku abdimu yang paling loyal. Angkatlah saya, letakkan saya di tempat yang nyaman,”

Selain gambaran ini, ke mana-mana wajah absurd itu bersungut-sungut, ngomong sendiri, berspekulasi sendiri, mirip orang yang sedang menjalani rehabilitasi narkoba.

“Ah, masak saya mau dimutasi ke tempat yang buruk, kan selama di sini saya sudah berkerja dengan baik.”

“Kan saya dinobatkan sebagai manusia tersxy tahun ini?”

“Ah, masak saya dimutasi ke tempat kering? Pantasnya saya dimutasi lebih tinggi lagi, kalau perlu jadi bosses of the bosses di sini”

“Tapi, kalau nanti saya tetap diganti bagaimana?”

“Oh… Oh… Oh…”

Demikianlah. Suara-suara ini terus bertalu, diiringi irama jantung yang berdetak lebih cepat.

Dag… dug… dag… dug…
Dag… dug… dag… dug…
Dag… dug… dag… dug…
Dag… dug… dag… dug…

Makin lama, makin dekat dengan pengumuman mutasi, suara itu kian keras.

Kasak kusuk pun dimulai. Telepon sana sini, cari gosip ketengan siapa tahu ada yang tahu rahasia para bos, kemanakah dirinya akan dimutasi.

Kalau ada yang merasa aneh, lalu mempertanyakan sikapnya, langsung saja dijawab dengan tangkas, “Ah, cuma nanya aja. Bagi saya mau ditempatkan ke mana saja, ya terserah. Namanya juga kerja ke orang.”

Ah, lidah bisa berbohong, padahal hatinya berkata lain,

“Iya, ya… kalau di tempatkan di mana saja gimana? Kalau nggak prestise gimana? Oh…. Bagaimana nasib diri, kemanakah nasib diri? Bos… Bos… Bos… bantulah hamba sahayamu ini, Bos… Bos… Bos… Engkaulah Tuhan ku...”

Dag… dug… dag… dug…
Dag… dug… dag… dug…
Dag… dug… dag… dug…
Dag… dug… dag… dug…


Kemarin adalah sejarah, esok adalah misteri, dan hari ini adalah berkah. Mungkin karena inilah orang Inggris menyebut hari ini sebagai present day, present yang berarti hadiah. Nikmatilah, karena tak ada sesuatu yang kebetulan.

Selamat mutasi…

Tidak ada komentar: