Kamis, 12 November 2009

Surat dari Wartawan Kampung

Usai cuti pulang kampung tempo hari, saya banyak mendapat kenalan wartawan lokal di sana. Kamipun akrab dan berkawan. Hingga suatu hari, kawanku yang wartawan kampung itu berkirim SMS. Maksudnya curhat aja. Maklumlah, saya juga seorang wartawan.


Isi SMS-nya, menggambarkan kekesalannya akan kondisi yang dihadapinya saat ini, khususnya soal kepala daerahnya (di sana Bupati) yang dia sebut “Pak Kada”. Sementara media (para editornya) yang dia masuki jadi berisi orang-orang tolol yang hanya menjadi juru tulis saja.

“Wah, kasar sekali kamu! Koyo awakmu becik ae, cuk!” SMS saya, gaya Suroboyoan, pakai “cuk” segala.

“Habis aku kesal, Mas! Tiap aku nulis yang mengkritik Pak Kada, selalu tak naik,” jawabnya.

“Berita tak naik itu biasa Bos. Jangan lebay, lah,” hibur saya.

“Bukan masalah tak naiknya Mas, yang aku kesalkan mereka banci. Itu aja.”

Akhirnya aku bertanya, ada apa rupanya. Siapa tahu bisa jadi bahan pelajaran juga, karena bagaimanapun saya berkecimpung di media massa.

Agar tak penasaran, saya akan cuplik isi SMS-nya dari awal.

“Pagi, Mas Bos… he he he…”

“Pagi juga. ‘Bos’? Maksudmu ‘bosok’ ta?” jawab saya, bercanda. “Bosok” dalam bahasa Jawa, artinya busuk, bau. Pokoknya tak enaklah.

“Saya kesal ama Pak Kada, Mas. Narsisnya tak habis-habis. Sementara wartawan udah mati rasa. Apa yang diomongin Pak Kada, itu yang ditulis. Pdahal isine ‘bosok’ kabeh,” bebernya. Lebih seratus karakter.

Belum sempat saya balas, dia masih melanjurkan dengan SMS ke dua. “Saat ini, Pak Kada membuat kota kami seperti Korea Utara, Wajahnya nampil di setiap sudut kota, pakai baliho besar-besar. Bahkan ada satu baliho dia sendirian yang tampil, padahal mestinya harus dengan muspida lain, seperti ketua Dewan. Kesal kan Mas. Berapa duit rakyat yang dia pakai?”

“Sabar aja lah…. Be positif thinker,” hibur saya. Namun dia terus meracau.
“Anak anak desk kota juga banci. Penakut, tak berani buka front. Maksudnya kritislah. Dulu di zaman Mas… (dia menyebut nama seseorang mantan editornya) enak. Dia berani perang ama Pak Kada, sampai-sampai beberapa Kadis dicopot,” kenangnya.

“Kok berkesimpulan seperti itu?” saya penasaran.

“Lihatlah, bagaimana desk kota membikin sosok Pak Kada jadi hero. Judul-judul yang menyangkut Pak Kada selalu bikin blennek (muntah). Biasanya selalu dimulai begini, Wako Minta…. Atau Wako Akan Tegur… atau Wako Berjanji Perjuangkan. Yang begini kadang di HL-in. Tak cukup hanya itu, sehari kadang ada dua beritanya di halaman berbeda. Komplet pake foto."

"Kalau berita tentang action-nya, sih tak apa di HL-in. Ini hanya omong doang, kok bisa lolos di HL-in. Cuma ngomong aja, tukang bubur juga bisa. AH, sekalian ganti aja kopnya jadi Harian Pak Kada,” sindirnya.

“Wah, parah itu.” Kali ini saya tak tahan untuk tetap diam.

“Ganti aja mereka, kan banyak mungkin yang masih belum terkontaminasi limbah brain storming ini?”

“Sebenarnya ada juga Mas. Tapi, tapi gimana lagi. Bukan kewenangan saya. Saya kan hanya wartawan kampung. Wis bah,” dia mengakhiri SMS-nya.

"Yo wislah. Semoga saja kau benar," pungkas saya.

Selesai terima SMS ini, saya masih bisa berbangga, karena media kami cukup berani, belum jadi banci. Baru-baru ini, media kamilah yang berani memberitakan dugaan korupsi petinggi daerah.

Meski banyak tekanan, namun tak bergeming. Karena ini adalah kebenaran. Ah, semoga saja hal yang menimpa kawan saya, wartawan kampung itu, tak menimpa saya.

Tidak ada komentar: