Rabu, 19 Juni 2013

"Menggugat" Dewan Pers

Dalam pertemuan dengan beberapa anggota Dewan Pers di Batam, akhir Mei lalu, ada sebongkah tanya yang tersekat di kepala. Hal tersebut terkait tak transparannya pemilihan anggota Dewan Pers itu sendiri.

Sebagaimana diketahui, rapat akhir Badan Pekerja Pemilihan Anggota (BPPA), Jumat, 21 Desember 2012 lalu, yang tidak lagi lengkap keanggotaannya, telah menetapkan sembilan anggota Dewan Pers terpilih periode 2013-2016. 

Tiga dari unsur wartawan, masing-masing 1. Imam Wahyudi (Direktur Content Creative Indonesia-CCI), 2. Nezar Patria (Managing Editor viva.co.id), dan 3. Margiono (Dewan Direksi PT Wahana Ekonomi Semesta yang menerbitkan Harian Rakyat Merdeka).

Tiga dari unsur Perusahaan Pers, masing-masing 1. I Made Karuna Ray Wijaya (Pemred MNC TV), 2. Jimmy Silalahi (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia) dan M. Ridlo Eisy dari SPS. Tiga lainnya dari unsur Tokoh Masyarakat, 1. Bagir Manan (Mantan Ketua Mahkamah Agung), 2. Ninok Leksono (Redaktur Senior Kompas) dan Yosep Adi Prasetyo (mantan anggota Komnas HAM).

Ada dugaan upaya melokalisir dan mengkooptasi lembaga Dewan Pers dengan cara membatasi proses dan peserta seleksi Anggota Dewan Pers oleh orang yang itu-itu saja. Sebab pemilihan Anggota Dewan Pers, hanya diikuti 38 orang.

Bila memang demikian, saya khawatir eksistensi Dewan Pers yang Independen dan berkualitas. Seharusnya, proses pemilihan Anggota Dewan Pers, bisa dilakukan lebih terbuka, dan bila perlu masing-masing media memuat pengumuman seleksi.

Kesempatan yg sama diberikan kepada semua komponen media baik pusat dan daerah, untuk terlibat dalam proses pemilihan, bahkan menjadi orang yang dipilih. Negeri ini luas sekali, bahkan dengan hanya menambah pokja, dengan 7 anggota, dua wakil ketua, tak akan cukup. 

Intinya, menyerahkan masalah pers di Indonesia hanya kepada 9 anggota Dewan Pers tersebut, tak akan ampuh juga. Perlu juga dipikirkan, membuat perwakilan di daerah. Selain akan lebih baik, juga pembagian kewenangan ini akan lebih sesuai dengan semangat otonomi.

Dugaan lain, adanya anggota Dewan Pers yang terpilih tersebut adalah titipan dari perusahaan tertentu bahkan ada anggotanya yang merangkap komisaris di perusahaan tertentu, sehingga kerap terjadi konflik kepentingan ketika perusahaan yang diwakilinya, terlibat perselisihan dengan media. 

Anggota Dewan Pers juga disebut-sebut sering otoriter, tak mau terima masukan, bahkan langsung main vonis saat menyelesaikan sengketa pers, tanpa mendengarkan keterangan dari media yang mereka dakwa melakukan pelanggaran etika pers.

Pertanyaan ini kemudian dijawab anggota Dewan Pers Muhammad Ridlo ‘Eisy'. Menurutnya, tak ada keinginan dari Dewan Pers untuk mengabaikan atau tak melibatkan komponen pers di daerah, namun semua terkendala aturan. 

Prosedur pemilihan anggota Dewan Pers itu melalui pengusulan nama-nama calon lewat organisasi kewartawanan yang diakui pemerintah, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Aliansi Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), atau Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI). Selain itu juga menerima usulan dari perusahaan media-media besar melalui Serikat Perusahaan Pers (SPS).

Apakah perlu Dewan Pers di daerah? Ridlo mengungkap, sempat ada perdebatan sengin akan hal ini. Waktu menyusun draft terakhir terkait aturan Dewan Pers, para anggota Dewan Pers berdebat sampai pukul 03.00 pagi. Akhirnya disetujui bahwa Dewan Pers tak hanya pusat, tapi di daerah. 

Namun, setelah draft tersebut diajukan ke DPR, ternyata usulan tersebut ditolak. Dengan alasan tertentu, DPR memutuskan Dewan Pers hanya ada di pusat.

"Dalam tahun ini kami ragu mengirimkan RUU perubahan, khususnya ketika anggota DPR banyak 'ditembaki' KPK, sehingga ada kecenderungan agar tak diajukan dulu UU perubahan (agar Dewan Pers juga ada di daerah) itu," jelas Ridlo.

Tentang sikap Dewan Pres yang terkadang otoriter, Ridlo menjawab bahwa hal itu tergantung kasusnya. "Kalau kasusnya hitam putih (jelas, red), maka medianya tidak kami panggil, tapi langsung disurati. 'Anda salah!' Contohnya kasus media di Sumatera Selatan yang menampilkan gambar orang berhubungan badan," ujarnya.

Namun kalau ragu, maka medianya dipanggil. Tentu saja ada pembelaan dan sebagainya, melalui pertemuan tripartit. "Bila minta maaf, selesai. Terus terang banyak juga yang kurang lega, khususnya para korban yang melakukan pencemaran nama baik.

Tentang anggota Dewan Pers juga menjabat sebagai petinggi di sebuah perusahaan, sehingga dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan saat bersengketa dengan media, Dewan Pers memiliki kebijakan, anggota yang bersangkutan tak akan diundang dalam rapat mediasi dan semacamnya.

"Biasanya yang dilakukan Dewan Pers itu elegan, media yang bermasalah tak sanpai diperlakukan dengan malu," jamin Ridlo.

Skeptisme tentang Dewan Pers ini juga pernah mengemuka dalan talkshow di Radio KBR 68 H yang kemudian dirangkum dalam buku Pers Berkualitas, Masyarakat Cerdas. Dalam buku setebal 344 halaman itu didapat penjelasan tentang Dewan Pers. Berikut saya cuplik sedikit isinya.

Pembentukan Dewan Pers independen menjafi bagian penting dalam perubahan dari pers tidak bebas pada masa Orde Baru, menjadi pers bebas pada masa reformasi. UU No 40/1999 tentang Pers, tegas menyebut Dewan Pers sebagai lembaga independen, tidak (lagi) tunduk kepada pemerintah yang berkuasa atau partai politik.

Dalam posisi semacam itu, Dewan Pers dapat berperan di satu sisi melindungi kebebasan pers agar tetap terjamin, di sisi lain menjaga agar kebebasan pers tidak disalahgunakan oleh kalangan pers sendiri.

Dewan Pers lebih banyak berperan sebagai penegak etika pers, lembaga swaregulasi di bidang pers, jauh dari keinginan menjadi "monster pers" seperti di era Orde Baru. 

Peran seperti ini seringkali dikritik karena dianggap "tak bergigi", tumpul, cenderung lambat atau bahkan membiarkan praktik-praktik penyalahgunaan profesi wartawan. Kritik ini patut didengar untuk meningkatkan kinerja Dewan Pers dan profesionalisme pers Indonesia. ***

Tidak ada komentar: