Rabu, 05 Juni 2013

Dongeng Media ala Bagir

Bagir Manan adalah "buku hidup", padanya tersimpan ilmu yang siap ditumpahkan pada siapa saja.

Di usia emasnya, Bagir juga menyimpan beribu pengalaman yang siap dikisahkan. Salah satunya, tentang media. Seperti yang akan saya tulis berikut ini. "Dengarkan saya, saya mau mendongeng," ujar Bagir. 

Awal Mei lalu, Bagir bertemu para redaktur di Semarang. Saat itu, dia diminta berbicara tentang pemimpin redaksi dalam perspektif etik dan hukum, dalam UU Pers.

Di depan kaum editor itu, Bagir menjelaskan bahwa pemimpin redaksi bukanlah pemain tunggal dalam menyelenggarakan media, ada pemain-pemain lain yang merupakan satu tim kolektif. Ada warrtawan, perusahaan pers, dan publik. 

Ada catatan khusus di sini, publik meski bukan komponen formal, tapi sangat berpengaruh atas keberlangsungan perusahaan pers. Kedudukan publik ini unik, bisa jadi teman, maupun lawan. 

Celakanya, kekuatan publik ini fatal sekali. Bila publik sudah tak percaya, maka habislah media itu. "Makanya, berat sekali membangun kepercayaan publik itu," jelas manyan ketua Mahkamah Agung tersebut.

Kemudian Bagir menjelaskan tentang posisi penanggung jawab dalam sebuah pemberitaan. Diapun kembali "mendongeng".

Satu ketika, ada seorang reporter yang diperkarakan di pengadilan pidana oleh pejabat tinggi kabupaten, karena beritanya dianggap tak menyenangkan. Di pengadilan tingkat pertama, dia divonis penjara. Kemuadian dia mengajukan kasasi hingga ke Mahkamah Agung.

Dalam sidang, hakim ketua menjelaskan apakah ada unsur pidana dalam pemberitaan tersebut. Tulisan tersebut bisa masuk hukum pidana bila ada unsur diketahui umum atau dengan maksud diketahui umum. Jadi kalau tulisan tersebut tak terbit, berarti gugur.

Untuk itu, siapa sebenarnya yang melakukan tindak pidananya? Dalam media, adalah redaksi, karena keputusan redaksilah berita itu naik atau tidak. Nah, siapa yang bertanggung jawab di redaksi, maka dialah yang seharusnya memikul hukuman. Dengan demikian, reporter tersebut dilepaskan dari segala dakwaan.

Bagir yang sudah kali kedua menjabat sebagai Ketua Dewan Pers itu melanjutkan, umumnya yang duduk di posisi penanggung jawab di redaksi adalah pemimpin redaksi hal ini termasuk tanggung jawab sisi etik. 

"Hak jawab dan koreksi itu tak ditujukan pada wartawannya, tapi pada redaksi," ingat Bagir.

Kalau ada wartawan melanggar kode etik, siapa yang menindaknya? Itu juga masuk kewenangan pemimpin redaksi. 

Ada contoh, seorang reporter melanggar kode etik, dan kasus ini masuk Dewan Pers. "Maka Dewan Pers hanya memberikan rekomendasi, bahwa wartawan Anda melakukan pelanggaran kode etik, maka yang berhak menindak adalah pemimpin redaksi," ujar Bagir.

Terkait soal etika ini, ada yang bertanya bagaimana hukum seorang fotografer yang memotret figur dengan lensa tele? Bagir menjawab harus dilihat di mana posisi sang figur di ambil.

Kalau memotret dengan lensa tele saat dang figur ada di rumahnya, itu bisa menimbulkan perbuatan melanggar hukum, karena melanggar privasi. "Bisa dipidana," ingat Bagir.

Namun Bagir mengingatkan, seorang figur tak bisa seenaknya juga menuntut wartawan dengan alasan privasi. Karena semakin top posisi seorang figur, maka semakin sempit jua privasinya.

Contohnya kisah perselisihan Putri Monaco dengan paparazi. Dia mengadukan paparazzi itu ke polisi karena selalu menguntitnya kemanapun dia pergi. Namun pengaduannya itu ditolak, karena itu sebagai konsekuensi sebagai publik figur.

Dongeng selanjutnya, Bagir mengisahkan tentang wartawan yang kebablasan. 

Satu ketika, polisi akan melakukan penggeladahan di suatu rumah yang diikuti wartawan. Saat polisi melakukan penggeledahan hingga ke kamar-kamar, termasuk kamar anak gadis sang tersangka, rupanya si wartawan ikut masuk juga. 

Tentu saja sang anak tersebut keberatan dan protes. Karena dinilai sang wartawan sudah melanggar hak-hak privasi seseorang. "Mestinya si wartawan tak boleh ikut masuk ke kamar. Dia kan bukan polisi," terang Bagir.

Dongeng selanjutnya, adalah jawaban Bagir atas pertanyaan yang sering dilemparkan publik dan wartawan itu sendiri tentang bagaimana hubugan antara redaksi dengan pemilik perusahaan.

Bagir menguraikan, hubungan redaksi dan pemilik perusahaan pers dapat dibedakan tapi sulit dipisahkan. Contoh, seorang pimred mendapat kepercayaan dari pemilik perusahaan untuk mengelola kontent pers.

"Jadi, tetap ada hubungan policy tertentu dari perudsahaan pers yang berpengaruh pada redaksi, ini alamiah sekali," ujarnya.

Bagaimana tentang pemilik media yang berpolitik? Kalau hal itu bisa dilihat dari aspek bisnis. Itu bisa ditolerir, sebab bagaimanapun juga, perusahaan pers adalah industri.

Terkait dari aspek politik, khususnya bagaimana peran media yang dikuasi oleh pelaku politik. Ini sah-sah saja. Namun, bagaimana bila mempengaruhi medianya, sehingga media solah-olah menjadi alatnya berpolitik? 

Bagir menjawab, sebenarnya tak mungkin mensterilkan media itu dari pengaruh politik pemilik perusahaan, baik langsung maupun tidak.

Apakah itu melanggar prinsip pers bebas? Menurut Bagir, sepanjang redaksi masih bisa menjaga media berjalan sebagaimana mestinya, itu tak masalah. Misalnya iklan politik, sepanjang redaksi membuka peluang yang sama, tak masalah. 

Hal ini juga terjadi di Amerika. Misalnya Channel Fox selalu mengkritik presiden Obama, karena pemiliknya berafikiasi dengan partai Republik. Sebaliknya, kelompok Bloombergh selalu mendukung Obama. Dari kedua televisi ini masyarakat malah mendapatkan perimbangan. ***

Tidak ada komentar: