Selasa, 25 Juni 2013

Mengupas Peran Politik Warga Tionghoa

Batam Pos dan Kepri Centre of Excellence kemarin menggelar dialog politik yang berbeda. Bila biasanya membedah partai politik, kali ini adalah calon legislatif politisi Tionghoa. 

Ada enam caleg yang hadir, masing-masing Asmin Patros (Golkar), Harifinto (calon DPD), Eddy C Lumawie (PKP Indonesia) dan tiga wajah baru, mereka adalah Hendra  Asman (Golkar), Erna (PKP Indonesia) dan Agus (Hanura).

Selain itu, ada tiga panelis yang dihadirkan, ada Lagat Siadari selaku Wakil Rektor III Uniba, bersama dua rekannya, Markus Gunawan dan Andri Yuko.


"Format diskusi kali ini beda dengan bedah partai. Masing-masing caleg harus mampu menjawab pertanyaan dari panelis hanya dalam waktu tiga menit," ujar M Riza Fahlevi, selaku moderator.

Menurut wakil pemimpin redaksi Batam Pos ini, dengan batas waktu itu, akan dapat dinilai bagaimana kualitas dan inteltualitas caleg yang bersangkutan dalam menelaah masalah, memberikan jawaban, dan keterampilan dalam berkomunikasi. "Ini adalah modal saat mereka duduk di dewan nanti," ujar Riza.

Soal mengapa hanya khusus membedah caleg Tionghoa, Riza berargumen, kiprah warga Tionghoa dalam berpolitik cukup menarik diamati, setelah belenggu diskriminasi rontok pasca-ditetapkannya mereka sebagai salah satu suku di Indonesia sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Riza menjabarkan, sebenarnya peran warga Tionghoa dalam membangun negeri ini sudah demikian banyaknya, jauh sebelum Indonesia ini berdiri. Misalnya Sunan Bonang (menyebarkan agama Islam) dan yang paling terkenal adalah Laksamana Ceng Ho.

Di Kepri sendiri, sekitar 1700-an, Kesultanan Riau di Tanjungpinang mendatangkan orang-orang Tionghoa untuk mengelola kebun-kebun gambir milik kerajaan. Di daerah lain, mereka juga mengajarkan teknik bertani terasiring dan khasiat obat herbal yang kita kenal dengan jamu. 

"Di masa pergerakan hingga era pra kemerdekaan, justru Harian Sin Po _sebagai koran Melayu Tionghoa_  yang pertama kali mempublikasikan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diciptakan oleh W R Supratman," terang Riza.

Pada 1920-an harian Sin Po juga memelopori penggunaan kata ”Indonesia bumiputera” sebagai pengganti kata Belanda, inlander. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata Tjina/Cina dengan kata Tionghoa (Mandarin:zonghua). Istilah ini memang dibikin sendiri oleh orang keturunan China di Indonesia.

Kalangan Tionghoa juga banyak berjuang mendirikan Republik ini, mulai dari membangun sarana pendidikan, serikat dagang, kepartaian, bahkan kemiliteran. 

Namun, kiprah mereka ini mandeg setelah peristiwa diskiminatif menghantamnya. Di Era Orde Lama, muncul Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1959, yang melarang warga Tionghoa berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten.

Akibat perlakukan inilah, masih Riza, membuat ekonomi Indonesia hanya bergerak di hulu saja. Saluran distribusi barang terganggu, dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965.

Lebih parah lagi saat Orde Baru. Diskriminasi ini muncul dengan menerapkan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). Tak hanya itu, Orba juga melarang seluruh aktivitas berbau Tionghoa, mulai Imlek, barongsai, hingga nama-nama keturunannya.

"Sebelumnya mereka juga kerap menjadi sasaran diskriminasi. Seperti pembantaian di Batavia 1740, masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 dan Kerusuhan Mei 1998," urainya.

Untunglah, lanjut Riza, semua aturan ini dicabut saat Presiden Abdurrahman Wahid memimpin negeri ini, pada tahun 2000. Bahkan Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. 

"Saat ini, warga Tionghoa memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia yang lain, termasuk dalam berpolitik. Inilah yang menarik ditelaah, apakah mereka memang berkualitas atau hanya sebagai vote getter," pungkas Riza. ***

Tidak ada komentar: