Selasa, 02 Agustus 2011

H I D A Y A H


Film yang baik adalah yang tidak mencekoki penontonnya dengan pesan moral. Film yang baik hanya akan berkisah, biarkanlah nanti penonton yang menyimpulkan apa pesan moral yang dia dapat.

Dengan demikian, hal ini akan membuat pikiran penonton berkembang, dan tak dikekang dengan pesan moral versi sang pembuat naskah.

Inilah yang menjadi dasar penulisan kolom saya kali ini. Beda dengan kolom sebelumnya, di mana saya selalu memaksakan sebuah ide yang kadang agak fundamentalis: Ini benar, itu salah.

Termasuk kali ini, saya akan bercerita tentang
Vienna Islamic Center, pusat kajian Islam dan tentu saja, masjid terbesar di Wina Austria. Hanya bercerita saja, tak lebih tak kurang.

Vienna Islamic Center ini terletak di tepian sungai Danube, sungai terkenal yang membelah Austria. Inilah sungai yang menyatukan Eropa. Danube melewati enam negara, berhulu di Jerman dan bermuara di Rumania. Sungai itu juga melewati empat ibu kota, yaitu Wina (ibu kota Austria), Bratislava (Slovakia), Budapest (Hungaria), Beograd (Serbia dan Montenegro).

Kembali lagi ke Vienna Islamic Center. letaknya yang berada di tepian sungai Danube, membuat masjid ini sangat terkenal. Sekaligus menyajikan pemandangan ekstrem. Khususnya, di musim panas, banyak warga Austria yang berjemur di tepian Danube.

Dengan pakaian minim, bahkan setengah telanjang, mereka terlentang lalu terkurep menantang matahari, menghitamkan kulitnya yang berbulan-bulan bersembunyi di balik mantel tebal penangkal hawa dingin.

Saat berjemur, ada yang bersama pasangannya bercumbu atau berpelukan bagai tak sadar banyak pasang mata yang melihat. Ada juga pria hidung belang yang ke sana-ke mari mencari mangsa di antara wanita-wanita yang berjemur tersebut.

Kerena letaknya dekat masjid, tak jarang suara azan lapat-lapat sampai ke telinga mereka. Sebaliknya, karena masjid ini dekat dengan lokasi tersebut, maka pemandangan ”menggoda iman” ini juga akan jelas tampak dari masjid yang dibangun tahun 1975 hingga 1979, dengan donasi kerajaan Saudi Arabia dan delapan negara Islam tersebut.

Saya pernah membaca buku 99 Cahaya di Langit Eropa, karya Hanum Salsabiela Rais yang mengisahkan tentang kegundahan Imam Hashim, imam masjid Vienna Islamic Center tersebut. ”Dulu kami sempat mau meindahkannya ke tempat yang lebih ‘pantas’,” jelas sang imam.

Namun lokasinya yang berada di sebelah ”tempat maksiat” itu, bemberikan berkah tersendiri. Apa itu? Ternyata banyak dari manusia-manusia yang mandi matahari, menjadi muallaf. Mereka tersentuh, lalu masiuk Islam. Masjid tersebut seperti mengirim hidayah pada mereka.

Mungkin saja mereka penasaran dengan suara azan yang sering mereka dengar saat berjemur. Mungkin saja ini tejadi, akrena manusia yang sedang rileks, sangat mudah tersentuh jiwanya.

Sehingga saat mendengar suara azan tadi, tanpa disadari mereka larut, hatinya tergetar, lalu penasaran, ”Suara apa sih ini? Oh ternyata dari masjid. Lalu apa sih masjid itu?” Dari beragam pertanyaan inilah yang mendorong mereka menemui imam Hashim lalu menyebut dua kalimah Syahadat.

Banyak cara dan jalan ketika hidayah itu muncul lalu meresap ke dalam jiwa warga Eropa yang notabene hidup di negara sekuler, di mana antara konsep agama dan negara terpisah.

Mungkin bagi Muslim, yang sudah ber-Islam karena warisan orang tua, tentu saja menyebut Islam adalah agama yang benar, tapi belum tentu bagi non Muslim. Maka itu, hanya sikap santun, damai dan kelembutan lah yang bisa menunjukkan pada mereka bahwa Islam itu indah.

Demikianlah. Hidayah itu datang tentu tak bisa dipaksa. karena tak mungkin memaksakan kenyakinan pada orang yang sudah punya keyakinan. Sebagaimana pendapat Wimar Witoelar, ”Kita tak mungkin mengubah pendapat orang yang sudah punya pendirian, tapi marilah kita berbagi sudut pandang kepada siapa saja dengan suasana yang sejuk.”

Benar, suasana sejuk. Karena darui sinilah pencerahan dan hidayah itu muncul. Suasana yang sejuk membuat orang berpikir siapa dirinya, mengapa dan untuk apakah dia hidup, lalu kemanakah tujuan hidup kini dan setelah mati nanti?

Beragam tanya ini membuatnya mencari sesuatu hal yang bisa membuatnya damai. Bisa pencarian mereka tertuju ke Islam, bila mereka yakini agama ini benar-benar rahmatan lil alamin dan meberi ketenangan hidup pada diri dan sesamanya. Seperti kisah para muallaf di Austria yang mendapatkan hidayah saat berjemur telanjang berjemur di tepian Sungai Danube.

Bukankah ini pulalah yang meresap pada Umar bin Khattab? Jiwanya guncang saat mendengar Alquran yang sejuk? Suasana rileks, damai dan sejuk ini jualah yang menjadi dasar metode ESQ, sehingga membuat pesertanya tenggelam dalam air mata pertobatan.

Suasana yang sejuk memang membuat hati gampang disentuh.

Tidak ada komentar: