Kamis, 04 Agustus 2011

Nafsu Besar Wisata Kepri

Kepulauan Riau terdiri dari dua kota, dan lima kabupaten dan terdiri dari 2.408 pulau besar dan kecil. Luas wilayahnya mencapai 252.601 km², sekitar 95 persen lautan dan hanya sekitar 5 persennya daratan. Dengan demikian, wajar bila Kepri tak hanya memiliki sumber daya alam yang tinggi, juga potensi wisata yang bagus.


Berdasarkan catatan pariwisata Kepri menyumbang devisa nomor 4 di dunia dan nomor 3 di Indonesia, setelah migas dan kelapa sawit.

Dari sisi geografis, letak Kepri paling strategis dibanding provinsi lain, karena berbatasan langsung dengan negara-negara di Asia. Sehingga wajar bila Presiden SBY menyebut, Kepri sebagai pintu gerbang (showcase) Indonesia kepada dunia.

Kepri juga memiliki semu potensi alam, sejarah, budaya, bahari, serta dunia bawah laut. Karena itulah, wisata laut Kepri mampu menyedot jumlah wisatawan asing nomor 3 di Indonesia, setelah Bali dan Jakarta.

Namun sayang, semua potensi ini kadang kurang disadari dan tak tergarap secara maksimal. Dukungan pemerintah setempat beserta jajaran SKPD pada sektor pariwisata juga sangat kurang. Padahal di negara-negara maju, sektor pariwisata dijadikan andalan sumber devisa negara terbesar, karena tidak mengeksploitasi sumber daya alam.

Karena itu, mereka gencar mengelola, mengemas dan memasarkan objek wisatanya kepada para wisataan. Di saat wisatawan tertarik mengunjungi daerah tujuan wisata tersebut, saat itu juga devisa negara mulai mengalir.

Kita kadang melihat orang beramai-ramai ke Macau hanya untuk terbengong-bengong menyaksikan puing kebakaran gereja st Paul, sementara di Kepri banyak peninggalan sejarah agung yang saat ini masih terpelihara. Masjid Penyengat misalnya atau situs-situs kerajaan Riau Lingga lainnya.

Bila India bisa menjual romantisme Taj Mahal yang dibangun sebagai tanda cinta Shah Jehan pada mendiang istri, Mumtaz Mahal, kenapa kita tak bisa menjual romantisme pulau penyengat yang diberikan sebagai mas kawin dari Sultan Mahmud Shah III untuk Engku Puteri. Ironis dan menyedihkan.

Begitu juga saat ke Hongkong, pemandu wisata dengan bangganya membawa wisatawan ke Repulse Bay, hanya untuk menyaksikan orang-orang berjemur di pantai buatan. Namun setelah dilihat, ternyata tak mirip pantai sama sekali. Ini hanyalah laut ditumbun dengan pasir bangunan yang kasar. Ini apa-apaan?

Tentulah kalah bila dibandingkan dengan wisata pantai yang dimiliki Natuna yang alami dengan pasir putih, lembut dan berkilau. Bahkan beberapa di antaranya memiliki laut yang jernih dengan habitatnya nan indah. Bagus untuk snorkling dan pecinta wisata bawah air.

Yang lebih mengherankan lagi, melihat tingkah laku wisatawan yang merogoh kocek dalam-dalam ikut tur wisata ke Poerto Rico untuk menyaksikan obyek wisata andalan daerah tersebut. Mau tahu apa itu? Ternyata, yang menjadi obyek wisata utama di daerah itu adalah pohon pisang!

Bila hanya ingin melihat pohon pisang, daerah di Kepri ini kurang apa? Namun sedihnya, kita punya banyak tempat indah tapi kalah oleh pohon pisang di Poerto Rico, atau pantai buatan di Hongkong. Ini semua karena mereka mampu dan gencar mengemas wisata dengan sangat bagus.

Begitupula soal kuliner. Orang seolah terkesan saat menyantap balut di Filipina, yang berupa telur bebek atau ayam berisi embrio hampir sempurna, lalu direbus dan dimakan. Juga kadang, banayk kita dengar wisatawan membicarakan nasi beryani, sepulangnya dari Singapura.

Padahal, soal kuliner, rasanya tak ada yang mempu mengalahkan kelezakan masakan daerah-daerah di Kepri. Kaya rempah dan diolah dari bahan-bahan yang segar. Soal seafood, tak usah ditanya lagi.

Di sini tumbuh rumah-rumah makan yang menyajikan masakan Melayu, Jawa, Aceh, Jawa Barat, Padang, Makassar. Dan tentu saja Chinesse food dan western food juga banyak.

Seperti penduduknya yang multi etnis, resep masakan di Kepri juga kaya dan beragam, namun tetap mempertahankan cita rasa daerah masing-masing, sehingga memiliki karakteristik tersendiri. Misalnya cita rasa masakan Aceh, yang terletak pada aneka bumbu dan rempahnya dengan dominan pengaruh India dan Timur Tengah.

Semua lengkap semua indah tapi entah mengapa kepala kepala daerah di Kepri ini, begitu gagap dan tak piawai mengemas dan menjual kekayaan alam dan budaya yang begitu banyak dan agung ini.

Hal ini diperburuk juga tata kota yang tak berestetika, jauh dari cita rasa pariwisata. Infrastruktur yang rusak, penunjuk jalan banyak hilang, papan billboard tak terawat berserak bersepak di lokasi-lokasi strategis. Bahkan hingga kini, billboard lomba triathlon yang digelar tahun 2009 masih saja terpajang di lokasi jalan utama.

Belum lagi kondisi bangunan yang tak berkarakter, jalanan kotor, halte berkarat, dinding terowongan penuh coret karut, taman kota yang tak jelas lagi antara bunga dan belukar, pedestrian kotor oleh sampah, itupun kadang masih dikapling pedagang kaki lima dan gelandangan. Belun cukup? Kadang masih diperparah fasilitas transportasi yang tak memberikan rasa aman.

Dari semua ini, wajarlah bila ada pendapat, bahwa kota baru rapi hanya saat ada kunjungan presiden saja. Setelah itu diabaikan.

Semrawut, semrawut, kota seolah tak terurus. Bila anda jadi wisatawan, maukah Anda mengunjungi tempat seperti ini? Kepri adalah pintu gerbang, jadi wisatawan akan mudah melihat dengan kasat mata, bila lingkungan di provinsi ini tak dipelihara dengan baik.

Tidak ada komentar: