Selasa, 23 Agustus 2011

Habis Ini Apa Lagi yang Baru?

Suatu hari saya melamun. Melamunkan Ramadan yang sebentar lagi usai.

Tak terasa saya kan mengucap selamat tinggal pada bulan yang siang dan malamnya mulia. Pada bulan yang di dalamnya ada kemuliaan lebih dari 1000 bulan. Bulan dengan amalan tanpa putus bahkan saat tidur sekalipun. Jua bulan penuh keakraban silaturahmi, bulan yang padat ibadah.

Saya berharap semoga tahun depan dapat berjumpa lagi dengan Ramadan. Apa iya? Entahlah. Hanya Allah yang tahu.

Sayapun bertanya, mengapa banyak yang masih belum kehilangan saat Ramadan akan berlalu? O, mungkin karena pikiran sudah tertuju pada perayaan Idul Fitri. Kata orang, nafsu untuk berpesta kadang lebih kuat dari pada bermuhasabah.

Lama-lama lamunan saya semakin dalam, semakin dalam. Saya melihat diri saya sendiri yang akan berlebaran tapi belum punya baju baru. Maka, diserbulah mall. Soal adanya inflasi rumah tangga yang siap mengancam, bisa ditutup dengan tunjangan hari raya (THR).

Ah, seandainya saja saya jadi kalangan the have, tentulah baju Lebaran hari pertama akan dibuat dengan tema khusus, dengan warna senada yang dijahit desainer ternama. Ayah, ibu, anak, menantu, bahkan cucu, diseragamkan. Sekalian senada dengan warna sepatunya. Mirip acara kawinan gitulah.

”Seragam Lebaran” ini hanya dipakai sehari saja. Karena Lebaran tahun depan akan berganti dengan tema baru lagi. Bila tahun lalu pakaian tema batik keris, tahun ini mungkin bertema batik gonggong dan seterusnya. Jangan tanya berapa uang yang dibelanjakan. Bisa jadi setara dengan lima tahun gaji karyawan baru.

Karena saya bukan kalangan the have, tapi hanyalah kalangan middle low, cukuplah saya berbangga dengan memburu baju diskon. Tak usah pakai tema-temaan-lah, yang penting baru.

Bisa jadi nanti saya pakai baju koko tipis warna putih, si ibu pakai abaya ala Syahrini dipadu jilbab ala Marshanda, dan si anak pede dengan baju ala Korea. Tak nyambung? Biarin, yang penting baru.

Habis ini apalagi yang baru?
Jangan hanya bungkusnya saja dong, tubuh juga harus baru. Rambut harus dipangkas rapi. Bila tak bisa nyalon, cukup ke pangkas rambut Aceh. Meski tak bisa creambath bisa dapat pijat gratis. Toh hasilnya sama juga.

Tapi maunya bisa facial, biar muka kinclong. Sekalian juga merapikan kuku, pedi/meni-lah. Jangan lupa beli parfum, biar saat silaturahmi bisa pede. Jangan sampai nanti saat salaman malah bau jengkol.

Habis ini apalagi yang baru?
Oh ya, rumah. Jangan lupa, kata Kahlil Gibran, ”rumahmu adalah tubuhmu yang lebih besar.” Makanya selain tubuh kecil ini, tubuh besar juag harus bersolek. Rumah harus rapi, dicat yang bagus dan licin.

Warna apa ya? Penginnya sih, ruang tamu warna padang pasir, supaya cerah dan semangat. Kalau ruang keluarga biarlah warna ungu muda, sehingga membawa aura ketenangan nan hangat. Untuk dapur, bisa pakai warna berani, agar menambah inspirasi memasak.

Jangan lupa membeli pernak pernik Lebaran. Ketupat warna-warni, untuk digantung di depan pintu, pagar, dan sebagainya. Agar rumah bisa kelihatan meriah. Sekalian sama pengharum ruang, yang tiap 15 menit bisa nyemprot sendiri. Cari yang beraroma terapi ya, biar tamu-tamu bisa betah.

Habis ini apalagi yang baru?
Ah... Perabot. Ini kursi sudah usang, usianya sudah 10 tahun. Harus diganti yang baru. Soal uang cekak tak peduli, kredit pun jadi. Lebaran gitu loh!
Oke, semua sudah baru, baru, dan baru....

Dari sini saya bertanya, kenapa semua kebaruan ini menimbulkan paradoks munculnya sifat pamerisme, sebuah perlombaan kosong yang difasilitasi oleh pasar?

Kalau begitu, benar kata Jean Baudrillard, pakar teori kebudayaan Perancis, yang menyebut pola konsumsi ini sebagai hubungan semiotik, tak semata mata-rantai ekonomi. Hal ini berkait dengan eksistensi keroyalan dan klaim status kekuasaan untuk memberi kesan yang bisa menaikkan status sosial. Seperti halnya kita memandang emas.

Habis Ini Apa Lagi yang Baru?
Gubrakkkk...! Lamunanku buyar. Bau gosong ikan dari penggorengan menyadarkanku.
Allahumma innaka 'afuwwun tuhib­bul `afwa fa `fu `anni.

Tidak ada komentar: