Minggu, 14 Agustus 2011

Pak De Preneur

Sejak awal Ramadan ini, saya tak pernah lagi mencicipi lontong sayur pujaan di seberang rumah. Yang jualan tutup sementara.

Sebelum Ramadan, biasanya tiap Minggu pagi saya nongkrong di sana. Masakannya memang mantap, tak kalah dengan lontong sayur yang biasa saya cicip di kapung halaman.

Maklum, si penjual juga dari Jawa Timur, karena itu para pelanggan, termasuk saya, memanggilnya ”Pak De” yang artinya paman (kakak dari ayah atau ibu).

Sebenarnya yang lebih menarik bukan soal rasa lontong sayurnya, tapi tentang kisah Pak De itu sendiri. Berikut saya coba kisahkan.

Usia Pak De sekitar 40-an. Tubuhnya tinggi kekar, wajah klimis. Rambutnya ikal tipis tanpa uban. Bicaranya cepat, dengan suara agak cempreng. Dan yang pasti senyum selalu tak pernah lepas dari bibirnya.

Senyum Pak De itu tulus, bukan hanya lantaran dia pedagang, yang harus menjaga performa ”3S”, yakni smile (senyum), service (pelayanan) dan satisfied (kepuasan) semata.

Pak De datang ke Batam pada tahun 1995, saat daerah ini penuh ”emas”. Saat itu dia tinggal di Bengkong. Layaknya migran lain, dia coba mencari peruntungan. ”Saya mau cari kerja,” katanya.

Dengan berbekal ijazah SMA-nya, tujuan Pak De ke Batam tak muluk-muluk: kerja jadi kuli bangunan. Maklumlah, saat itu banyak kawasan Industri di Batam yang giat membangun. Mulai Mukakuning sampai ke Galang.

”Saya ikut bangun di Mukakuning (Kawasan Indusrti Batamindo), juga sempat ikut proyek sampai ke Galang,” ujarnya. Sekilas saya lihat rasa bangga membersit di wajahnya.

Setelah lama malang melintang jadi kuli bangunan di Batam, pada suatu ketika Pak De bertemu seorang lelaki yang mengubah cara pandang hidupnya untuk selamanya. Lelaki itu berasal dari Sumatera Barat, ”Dia orang Padang,” akunya.

Saat mereka berbincang santai itulah, meluncurlah kalimat ”sakral” itu. ”Orang Jawa kalau merantau pasti mau cari kerja. Kalau kami (orang Padang) merantau untuk cari duit. Makanya kamu hanya dapat kerja,” ujarnya.

Pak De tertegun. Omongan lelaki itu, meski bercanda, langsung meresap ke hatinya. Bagai pesan dari langit yang menembus benteng-benteng kesadarannya. ”Saya harus berubah,” gumam Pak De.

”Cari kerja, tak sama dengan cari duit. Cari kerja maka jadilah pekerja, cari duit maka jadilah pengusaha,” inilah moral of the story yang direkam Pak De.

Singkat kata, pada tahun 2006, Pak De mulai merintis usahanya. Dia memilih jualan lontong sayur dan nasi lemak. Pak De menempati rumah di kawasan Batam Center, untuk menjalankan usahanya yang dia sewa patungan bersama rekan-rekannya yang juga jualan mie ayam, bakso, serta nasi goreng. Pak De jualan pagi, sedang rekannya jualan mulai pukul 16.00.

Roda pun berputar dari usahanya ini, hidup Pak De berubah. Diapun mulai meluaskan usahanya di sebuah kawasan Industri yang berada di Baam Center. Tak hanya itu, dia juga mulai kuliah S1. ”Saya ambil pendidikan Agama Islam,” jelasnya.

Saya heran, mengapa kuliah lagi? ”Supaya berilmu. Uang tak dibawa mati, ilmu bisa jadi bekal di hari nanti,” jawabnya.

Pak De memang beda. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan cukup tinggi. Otaknya tak pernah mati karena suka baca dan kritis. Dia kerap kali mengajak atau melayani pelanggannya, termasuk saya, berdiskusi. Argumennya top. Tak kalah dengan para pengamat di acara Jakarta Lawyes Club. Meski ini masih kelas kaki lima.

Dan yang penting, Pak De selalu mencari sisi baik orang. Dia open mind juga humoris. Kadang saya lihat dia mematahkan argumen ”lawan” dengan cara-cara mengocok perut, sehingga diskusi jadi sejuk dan hidup. Tak ada yang tersakiti. Kalaui sudah begini saya jadi teringat almarhum Gus Dur.

Jelang awal Ramadan lalu saya sempat mengunjungi warung Pak De untuk mencicipi lontong sayurnya. Saya namakan ini ”lontong sayur yang terakhir” sebelum libur Ramadan. Saya lihat

Pak De bersiap pulang kampung, ”Sekalian mau wisuda,” katanya. Lalu kemanakah rencana setelah wisuda? ”Ya tetep jualan. Lha wong (biaya) kuliahnya dari sini kok,” jelas sang entrepreneur rendah hati ini, dengan senyum khasnya.

Demikianlah kisah Pak De. Semoga kisah ini mencerahkan. Semoga kisah ini bisa memotivasi, tapi tidak menggurui. dan sekali lagi, silakan menyimpulkan sendiri moral of story-nya.

Tidak ada komentar: