Senin, 09 Januari 2012

Perpustakaan

Usaha yang pernah saya tekuni semasa SMP adalah persewaan buku.

Umumnya buku-buku cerita, misalnya tentang petualangan Tom Sawyer saat berkeliling dunia, Luckyluke, Smurf hingga beberapa majalah anak seperti Bobo dan Kawanku.

Buku-buku ini saya sewakan dengan tarif Rp25 per tiga hari. Tapi kalau baca di tempat, bisa Rp10 saja. Lumayan, keuntungan dari hasil persewaan ini uang jajan saya tak lagi bergantung pada orang tua. Bahkan, masih bisa menabung. Sedangkan 50 persen dari keuntungan ini saya putar lagi, membeli buku-buku baru. Begitu terus.

Selain itu, keuntungan lainnya, saya jadi sering bertemu teman dan mendiskusikan apa isi buku tersebut. Dari sana, nanti ada saja pengetahuan atau ide baru. Termasuk juga dapat usulan tentang buku baru apa yang harus saya beli sebagai koleksi perpustakaan ini selanjutnya.

Namun dari semua keuntungan itu, ada hal yang tak bisa hilang dan terus berkembang dan tumbuh, yakni, ilmu dan moral. Di sinilah ruang belajar menyusun wawasan, introspeksi, memahami, memecahkan masalah, menjadi dewasa dan bijaksana. Meski kadang kesimpulan yang didapat masih interpretatif. Namanya juga masih ababil alias --bahasa gaulnya-- abege labil.

Hingga saat ini saya meresapi benar pentingnya sebuah buku bagi character building anak. Sayangnya, anak-anak malas mendekati buku. Mereka lebih suka larut dengan android atau game online-nya.

Apalagi harga buku luar biasa mahalnya. Saya sampai pada kesimpulan, bisa jadi mereka malas membaca karena tak ada yang bisa dibaca, akibat kantong tak sampai oleh harga buku yang melangit.

Dari sini timbul ide, mengapa tak sediakan saja perpustakaan gratis untuk anak, khususnya anak kurang mampu? Siapa tahu, bisa menjadi sumbangsih untuk membangun Batam yang lebih baik.

Pikiran ini jualah yang disambut Mahmud Syaltut, sehingga menjelmalah taman bacaan Sanggar Restu Bunda. Di sebuah ruku kecil di belakang SPBU Tiban III ini, kepala Sekolah Hang Nadim malay School ini, membangun perpustakaan mini itu.

Metode yang dijalankan pada taman bacaan ini bagaimana memaksimalkan otak kiri dan kanan. Anak-anak tidak hanya membaca, tapi juga diarahkan bagaimana mereka mampu mengembangkan kreativitas dan hobinya secara bertahap.

Selain membaca, anak-anak dapat menonton TV tentang film character building (pembangunan karakter), serta surfing ilmu pengetahuan dari internet. Semuanya gratis.

Era moderen ini, informasi penting dikuasai. Peradaban akan maju, bila mereka menguasai teknologi dan ekonomi. Dan semua ini dibangun melalui budaya literasi, dalam hal ini buku dan perpustakaan.

Harapan membangun masyarakat yang lebih baik dengan menyediakan perpustakaan, dan menggiring agar masyarakat suka membaca, saya rasa bukanlah mengada-ngada. Dan semua ini harus dimulai dari masa kanak.

Dari sini saya teringat akan sebuah kalimat menarik dalam sebuah piring keramik memakai huruf Arab kufik. Bunyinya, ”Ilmu pengetahuan pahit pada awalnya, tapi manis melebihi madu pada akhirnya...”

Piring ini adalah suvenir dari khurasan Iran yang dibuat tahun 1100 dan kini tersimpan di musium Louvre Prancis, musium yang juga menyimpan lukisan Monalisa.

Suvenir tersebut dibuat saat keemasan peradaban Islam, memimpin dalam segi ilmu pengetahuan, ekonomi dan tata pemerintahan. Sedangkan saat itu Eropa masih dlm masa kegelapan, masa dimana gagap teknologi dan disibukkan urusan supranatural.

Tulisan di piring tadi menyadarkan, agar jangan malas mendapatkan ilmu baru. Tentu berat, pahit, dan capek. Namun semua kan membuat kita berkembang dan memiliki keahlian baru. Bukankah ini yang disebut madu?

Karena yang dimaksud berkembang itu adalah ketika kita tahu akan hal yang semula tak kita pahami. Itulah pentingnya informasi. Itulah pentingnya sebuah perpustakaan.

Tidak ada komentar: