Selasa, 23 April 2013

Gerakan Membaca

Salah satu hak warga yang wajib dipenuhi oleh pemerintah adalah mendapatkan informasi. Namun, tak semua warga bisa mendapatkannya. Akses untuk hal tersebut terasa sulit didapat.

Informasi sangat penting untuk pembangunan mental dan intelektual masyarakat. Informasi adalah asupan bagi otak agar terus berkembang. Otak ibarat parasut, akan bekerja bila berkembang.

Agar membantu mengembangkan pikiran ini, tentunya perlu asupan informasi. Informasi ini juga ibarat pelumas dan asupan untuk membantu mengganti sel otak yang mati agar kinerja otak kita terus berkembang. Maka itulah pentingnya untuk selalu membaca.

Namun apa daya, minat baca masyarakat kita (Indonesia) terendah dibanding 52 negara-negara di kawasan Asia Timur. Ini tentu sangat membahayakan.

Organisasi pendidikan, keilmuan dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) sempat melansir, dari 1.000 orang Indonesia hanya satu yang memiliki minat baca tinggi.

Ada berapa faktor yang membuat masyarakat Indonesia malas membaca. Pertama faktor lingkungan, khususnya keluarga. Keluarga ibarat sebuah tim, dan tingkah anggota tim umumnya mencontoh pemimpinnya.

Dari sini kita melihat, masih banyak orang tua yang tak menurunkan budaya membaca (literasi) pada anak-anaknya. Mereka malah menurunkan kebiasaan menonton televisi. Hal ini sama saja dengan mengumpankan anak-anaknya pada "monster" tersebut.

Faktor kedua adalah psikologis. Umumnya generasi muda kita, pertama kali dikenalkan pada buku, adalah buku pelajaran. Hal ini membuat kognisi mereka tertanam bahwa buku identik dengan hal sulit dan tak nyaman.

Belum lagi pembaca buku kadang kerap diejek dengan panggilan peyoratif, semisal "kutu buku", dan diasosiasikan dengan orang aneh yang antisosial. Maka kian jauhlah sudah.

Faktor ketiga, tentu tak lepas dari peran pemerintah sendiri, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kurang aktif menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca. Meski ada kampanye gemar membaca, tapi tak menyentuh masyarakat bawah.

Faktor keempat, kurang terjangkaunya bahan bacaan itu sendiri, dalam hal ini buku. Selama ini, buku murah dan bisa dinikmati semua kalangan sangat langka, penerbitan kurang dukungan, akibat tak adanya pengendalian harga kertas dan pajak pada buku.

Belum lagi soal distribusi buku yang belum merata. Sejak 2011, distribusi buku sekitar 70 persen ada di Pulau Jawa. Jadi, kian jauhlah akses anak bangsa pada buku murah.

Inilah yang membuat pemerintah terkesan kurang serius mengembangkan dan menggerakkan industri perbukuan. Selama pemerintah hanya fokus pada buku pelajaran saja. Beragam jenis buku lainnya, yang dapat merangsang minat baca kurang dukungan.

Konsisi tersebut membuat kondisi kita kalah dibanding Malaysia. Di negeri para sultan itu, budaya membaca sudah sangat baik dengan dukungan pemerintah yang luar biasa. Di sana ada anggaran mengkaji, promosikan dan mengembangkan perbukuan. Di antaranya tiap dua tahun sekali, ada kajian literatur buku khusus anak.

Mereka memang sudah menyiapkan generasi membaca sejak dini. Anak-anak di sana, tiap minggu, ada pelajaran yang mewajibkan membaca buku-buku sastra. Kenapa sastra? Agar jiwa pelajar hidup. Mampu menjiwai, memaknai, menyemai karakter terhadap bangsa dan lingkungannya.

Ah, dari pada mengutuk kegelapan, mending menyalakan lilin. Dari pada terus mengecam ketidak beresan pemerintah menumbuh kembangkan minat baca, mending kita berbiat. Dari Batam, Batam Pos telah memulai gerakan itu.

Seperti yang Minggu, 21 Maret 2013 lalu, telah dilaksanakan gerakan Batam Membaca dengan mengumpulkan ribuan buku dan menyalurkan pada perpustakaan-perpustakaan warga. Gerakan ini berhasil memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia dalam hal berhasil mengumpulkan 24.058 buku dalam waktu kurang dari 24 jam.

Bahkan sebelumnya, awal 2010 lalu, Batam Pos juga memiliki program Hibah Koran dan terus berlangsung hingga saat ini.

Hibah koran ini digagas karena satu-satunya cara untuk menanamkan minat baca dengan cara mendekatkan masyarakat pada bahan bacaannya. Bukankah sudah ada internet? Benar, tetapi masih banyak di pelosok daerah Batam khususnya dan Kepulauan Riau umumnya, bisa mengakses internet.

Lalu mengapa koran? Karena sampai saat ini, koran menjadi media informasi yang masih aman ”dikonsumsi”. Pasalnya, semua berita yang ditampilkan, melalui seleksi ketat dan berlapis. Mulai dari reporter, redaktur, redaktur pelaksana hingga pemimpin redaksi. Selain itu, berita koran dikemas tak terburu-buru.

Alasan lain, karena sasaran hibah koran ini adalah sekolah kurang mampu. Batam Pos ingin membangun generasi muda dengan informasi.

Bagi murid, informasi ini penting untuk membantu mereka mengetahui pekembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bagi guru, informasi juga akan mambantu mereka dalam mengajar, utamanya menyajikan ide-ide baru.

Kami melihat jangankan di wilayah pedalaman, di kota Batam sendiri masih banyak sekolah yang tak bisa mendapatkan informasi dari koran ini. Keterbatasan biaya selalu menjadi alasan.

Bahkan di kawasan hinterland, seperti di Teluksunti, ada sekolah yang guru-gurunya harus menempuh 1 jam perjalanan ke belakangpadang, untuk membeli koran.

Inilah beberapa "amunisi" mengapa program hibah koran ini digagas. Dari awalnya dicanangkan tahun 2010 lalu, target semula hanya untuk 100 sekolah. Namun, siapa sangka dukungan masyarakat dan Pemko, khususnya, begitu besar. Hingga pada akhir 2012 lalu, sudah lebih seribu sekolah yang terbantu program hibah koran batam pos. ***

Tidak ada komentar: