Selasa, 30 April 2013

Televisi Politik

Alais politik ternama Amerika, Michael Barone berkata, ”Survei bagi politisi, ibarat kita memerlukan udara untuk bernapas.”

Politik adalah alat mendapat kekuasaan, untuk itu perlulah para petarung memangkan hati masyarakat. Di era demokrasi digital ini, dukungan masyarakat itu dapat diraba melalui survei. Survei ini ibarat lampu lalu lintas bagi mereka apakah akan terus melaju, atau berhenti sama sekali.

Untuk melakukan survei tersebut, peran media sangat strategis. Ya, media, baik cetak, khususnya elektronik dalam hal ini televisi. Mengapa televisi? Sifatnya yang hanya mengandalkan telinga (audio) dan mata (visual), membuat media ini disukai.

Jangkauannya luas, hingga ke ceruk-ceruk wilayah terpencil tanpa memerlukan distribusi selain itu juga mampu menyajikan gambar peristiwa secara langsung. Karena itulah, kian maraknya televisi kian menggerus minat baca masyarakat. Dalam survei terbaru, menonton televisi menempati angka 68 persen dibanding mengonsumsi media jenis lain! Menonton lebih dinikmati daripada membaca.

Karena bersifat audio dan visual, membuat hegemoni televisi sangat ampuh dalam mempengaruhi psikologi masyarakat. Dan pengaruh itu terus menular pada masyarakat di bawahnya. Hal inilah yang membuat partai politik maupun politisi ”ngiler” untuk memiliki stasiun televisi sebagai alat memoles persepsi partai dan dirinya untuk meraih kemenangan, utamanya membuat mereka memiliki magnet elektoral, personal baranding, dan partai branding yang berkualitas.

Namun untuk membuat stasiun televisi bukanlah hal mudah dan murah. Perlu invstasi yang luar biasa mahal, hingga ratusan miliar rupiah! Televisi media teknis, di mana sangat bergantung pada kekuatan peralatan elektronik nan rumit.

Padat modal, padat teknologi canggih, membuat biaya operasional televisi juga sangat tinggi. Untuk bisa bertahan hidup, televisi memerlukan asupan dana tak sedikit yang mereka dapat dari iklan. Tentu saja, harga iklan televisi sangat mahal dibanding dengan media lainnya.

Misalnya untuk acara ber-rating tinggi, harga iklannya dipatok sangat tinggi. Untuk iklan dengan durasi 15 hingga 30 detik saja, harganya sekitar 10 juta hingga 15 juta rupiah! Contoh, acara Termehek-mehek di Trans TV, harga iklannya mencapai Rp 5,5 juta per slot, dengan durasi 30 detik.

Memang harga ini tak seragam, tergantung ”hukum ekonomi”, semakin banyak dikonsumsi maka akan semakin mahal. Namun bila dikalkulasikan, rata-rata tarif iklan televisi terbagi dalam dua jenis, tarif murah berkisar 50 ribu hingga 350 ribu rupiah per spot (durasi 15-30 detik) dan tarif mahal berkisar 6 juta hingga 16 juta rupiah per spot (durasi 15-30 detik).

Tak aneh bila media televisi sangat kompromistik pada orang-orang yang dianggap mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mereka adalah media owner (pemilik/pemegang saham), media darling (orang yang memiliki nilai berita), media client (pemasang iklan).

Hingga kemudian, di saat para pemilik stasiun televisi ikut terseret pada arus politik, membuat stasiun televisi ikut ”berpolitik”. Hal tersebut adalah hak media yang harus dilindungi. Seperti kita lihat, bagaimana Aburizal Bakrie mengenalkan diri dan partainya di TV One, juga Surya Paloh berpidato panjang lebar tentang partainya di Metro TV dan Harry Tanoe yang mengenalkan haluan politiknya di MNC grup. Hal ini juga merembet ke media cetak.

Ya... Selamat datang di era liberalisasi sistem demokrasi, di mana banyak media ikut terseret arus politik pemiliknya. Mau bagaimana lagi? Tak ada aturan bahwa seorang aktivis politik termasuk kandidat presiden tak boleh memiliki lembaga penyiaran. Asal punya uang ratusan miliar, kenapa tidak?

Juga, tak ada aturan di Indonesia ini yang mutlak melarang pemanfaatan media untuk kepentingan politik dan menayangkan iklan politik. Baik itu UU Pers 1999 maupun UU Penyiaran 2002. Namun khusus di televisi, ada kalimat agar menjaga netralitas isi siaran dan tak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

Tapi tetap saja, di UU tersebut tak memuat sanksi bila media bersangkutan melanggarnya. Yang ada hanyalah amanat untuk membentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memilliki kewenangan menetapkan apa yang disebut sebagai Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran (P3-SPS).

Angin segar dari KPI ini berupa dibuatnya pasal khusus tentang siaran pemilu (pasal 50) di mana media diharuskan bersikap adil dan proporsional serta tak boleh bersikap partisan terhadap peserta pemilu.

Hal ini sebenarnya juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Meski televisi di AS secara hukum tidak boleh berpihak pada kandidat atau partai politik manapun, karena itu jaringan televisi FOX sering
dikritik karena sikapnya yang anti-Obama.

Meski begitu, di AS ada ketetapan dari Federal Communications Commission (FCC) tentang ”equal time rule” bahwa setiap stasiun televisi atau radio wajib menyediakan waktu seimbang bagi setiap kandidat yang sedang bertarung dalam pemilu. Bila stasiun menyediakan satu jam siaran penuh bagi salah satu kandidat untuk berkampanye, media tersebut wajib menyediakan kesempatan yang sama (panjang waktu siaran sama, jadwal tayang setara, jumlah audiens seimbang) pada kandidat lain.

Dalam hal iklan kampanye FCC juga mengatur dengan sangat keras dan ketat. Media tak boleh bersikap diskriminatif pada pemasang iklan dari kandidat A maupun kandidat B. Misalnya, jangan mentang-mentang kandidat A punya media, maka iklannya bisa murah dan kandidat B mahal.
Bila praktik diskriminasi ini dilaporkan, maka stasiun televisi tersebut akan dapat sanksi keras.

Sebenarnya bukan rahasia lagi, upaya memaksa lembaga penyiaran bersikap imbang memang tak mudah. Sebenarnya kondisi ini sudah sering menuai protes publik. Namun menurut saya, biarkan saja. Toh nanti apa yang disampaikan dari media baik cetak atau elektronik yang berhaluan politik A, akan terkonfirmasi dan terklarifikasi dari media berhaluan politik B. Begitu seterusnya.

Selain itu, kian cerdasnya masyarakat membuat mereka kian mampu melakukan seleksi ketat pada media yang terkontaminasi politik dan dirasa kurang pas dengan pandangannya. Dan ini mau tak mau menjadi early warning bagi lembaga penyiaran, untuk segera mengubah langkah.
***

Tidak ada komentar: