Rabu, 10 April 2013

Jurnalistik, dari Amenhotep ke Batavia

Sejarah jurnalistik, sebelum ditemukan sebelum media tulis sagat mudah. bermula dari budaya tulis di zaman keemasan Mesir Kuno jelang new kingdom.

adalah Firaun Menhotep III (1405-1367) yang telah melakukan proses itu. Dia mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan informasi secara kontinyu untuk membuka jalur-jalur komunikasi baru.

Temtu yang menyebarkan berita bukan firaun yang naik tahta pada usia 15 tahun tersebut. Dia mengutus ratusan "wartawan" untuk membawa "surat berita" pada seluruh pejabat provinsi.

Langkah Amenhotep III ini disebut sebagai cikal bakal jurnalistik. Mengapa? Dalam tulisannya di ensiklopedi The New Book of Knowledge, Leslie G Moeller dari Universitas Iowa, Amerika Serikat, tak menjelaskan mengapa.

Tapi kita bisa mengambil kesimpulan, bila ditilik berdasarkan yang dibawa utusan Amenhotep itu adalah "berita tertulis" atau "surat yang memberi kabar", maka ada kesamaan-lah, dengan profesi wartawan saat ini.

Tentu saja praktik atau pola jurnalistik yang terjadi 3.400 tahun lalu itu, tak secanggih saat ini. Namun mampu memjadi inspirasi kerajaan-kerajaan lain. Sejarah Sriwijaya dan Majapahit juga menganal hal tersebut. Mereka disebut kurir.

Mungkin hal ini ada hubungannya pula, mengapa para tokoh pers kita di era kemerdekaan memilih kata "wartawan" sebagai ganti kata "jurnalistik" yang lazim dipakai saat masa-masa kolonial Belanda.

Sekadar diketahui, jurnalistik Eropa telah merambah ke negara-negara jajahannya, termasuk Indonesia. adalah Gubernur Jendral Belanda Jan Peterzoon Coen (1587-1629) yang memprakarsai penerbitan news letter bernama Memorie der Nouvelles, 1615.

Dicetak terbatas, hanya 30 eksemplar, bentuknya hampir mirip dengan "koran" Amenhotep III, yakni surat dengan tulisan tangan berisi berita-berita dari Nederland dan disebarkan dari Batavia untuk pejabat-pejabat penting VOC (Perkumpulan Dagang India Timur) hingga yang tinggal di Ambon.

Hingga 200 tahun kemudian, tepatnya 7 Agustus 1744, Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia), surat kabar pertama di Indonesia, terbit.

Kali ini sudah benar-benar koran. Dicetak dalam ukuran kertas folio. Adalah Jan Erdman Jordens yang menerbitkannya, dengan masa kontrak tiga tahun. Keinginan menerbitkan koran di Indonesia sebenarnya sudah lama ada, namun selalu dihambat VOC.

Abdurrachman Surjomihardjo, dalam Eberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia, menulis, keinginan itu baru terwujud setelah VOC dipimpin Gubernur Jendral Gustaaf Willem Baron dan Imhoff yang terkenal moderat.

Terbitan koran ini langsung dikirim ke Belanda, pada pimpinan pusat VOC, De Heeren Zeventien. Perjalanan ke Belanda saat itu dengan kapal laut selama tujuh bulan. Kontan saja, Zeventien pun melarang. Surat perintahnya dikirim pada November 1745, baru sampai 20 Juni 1746. Surat kabar inipun tutup, setelah sempat beredar dua tahun.

Dari tinjauan ini, jelas sudah bahwa jurnalistik sudah ada sejak zaman Belanda. Hingga kemudian, sebutannya diganti "wartawan" sampai sekarang.

"Wartawan" sendiri berasal dari kata Sansekerta, "wrtta", artinya digerakkan, terjadi, lalu, lewat, soal, peristiwa, tindakan, tingkah laku, atau bisa juga berarti berita. (PJ Zoetmulder, kamus Bahasa Jawa Kuna-Indonesia).

Namun tak semua istilah dari zaman bahoela itu diganti. "Reporter", misalnya. Istilah ini diambil dari dunia birokrat abad 15, yang tulisannya terkenal rapi, jelas, bagus, jujur dan objektif. Jadi kira-kira maksudnya, diharapkan "reporter" atau wartawan lapangan tersebut bisa meneladani semangat kerja para birokrat Eropa itu.

Hal sama yang masih dipakai hingga saat ini adalah istilah "pers" itu sendiri. Pers (bahasa Belanda) atau press (bahasa Inggris) muncul dari kinerja mesin cetak yang pertama kali di temukan Johannes Gutenbergh pada 1450.

Ceritanya, mesin cetak itu bekerja dengan cara menekan berulang-ulang huruf ke kertas. Maka yang dihasilkan mesin cetak itu disebut pers (persen) atau press yang artinya tekan.

Ceritanya, Gutenberg yang tinggal di tepian sungai Rhein, Kota Mainz, Jerman itu telah 10 tahun lamanya merintis pembuatan mesin cetak. Sayangnya, tak mudah mencari jenis kayu agar mampu digunakan mengukir huruf dan kuat dipakai mencetak banyak dan tahan untuk ditekan (press) berulang-ulang.

Entah mengapa dalam perkembangannya, istilah "press" ini dipakai juga pada wartawan radio dan televisi yang tak menggunakan mesin cetak. Apanya yang ditekan ya?

Sedikit mengulas, awalnya mesin cetak itu hanya dipakai membuat selebaran tentang suatu peristiwa atau pengumuman. Dari awal ditemukan hingga kemudian koran pertama terbit, memakan waktu 169 tahun.

Avisa Relation Oder Zeitung, surat kabar pertama (mingguan) tersebut terbit 15 Januari 1609 di Augsburgh, Jerman. Haya inilah yang paling teratur dan bentuknya jelas. Beda dengan "koran-koran sebelumnya yang terbit tak teratur dan bentuknya lebih mirip pamflet.

Orang mulai sadar pentingnya surat kabar ini ketika Colombus "menemukan" Infia Barat 1492, dalam misi mencari emas dan rempah-rempah ke Asia. Sejak itu banyak yang ingin mengikuti jejaknya. Pelabuhan pun ramai, lalu bermunculanlah kedai kopi.

Di kedai kopi ini banyak orang betukar informasi, baik jadwal kapal, maupun tragedi. Informasi ini kemudian ada yang menulis dan diedarkan ke kedai kopi lain. Dari sinilah cikal bakal koran bermula.

Tentang adanya hambatan menerbitkan koran, memang bukan hal baru dan di Indonesia saja. di Amerika Gubernur Massachutes membredel koran pertama di AS, Public Occurances Both Foreign and Domestic, yang diterbitkan Benjamin Harris pada tahun 1690.

Kekuatan media massa dalam mempengaruhi dan mengubah opini pembaca/pemirsanya, menjadi alasan utama kasus-kasus pembredelan media. Inilah mengapa wartawan juga dijuluki "ratu dunia".

Hal ini pulalah yang mendorong Inggris di abad ke 16, memberlakukan hukum yang keras. Sebelum terbit harus disensor terlebih dahulu oleh pejabat Istana. Maka itu kantor pers harus dekat istana,

Sanksinya juga cukup berat. Bila dirasa merugikan pemimpin redaksi-nya bisa dipotong lidah, atau paling berat dipancung! Inilah yang kemudian disebut sistem pers otoritarian.

Banyak lagi sikap pemerintah dalam memandang pers, sehingga menimbulkan sebuah sistem baru. Di antaranya, totalitarian yang terjadi di Uni Soviet. Di mana pers hanya menjadi alat propaganda pemerintah. Kira-kira mirip TVRI zaman Orde Baru. Atau mirip kondisi pers Singapura saat ini.

Selain itu ada Libertarian yang lahir setelah Revolusi Prancis dan kemerdekaan Amerika Serikat 200 tahun lalu. Sistem ini menjunjung kebebasan pers.

Sistem ini ujung-ujungnya memunculkan konglomerasi media. Siapa yang punya uang dia bisa jadi raja media. Hingga muncul apa yang dikatakan Marshall Mc Luhan, bahwa siapa yang menguasai informasi maka akan menguasai dunia.

Dengan demikian, pers hanya berpihak pada kepentingan pemilik modal yang adakalanya sering berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Lalu kepada siapakah pers berpihak? Bukankah media sebagai pilar demokrasi yang membela kepentingan publik.

Maka muncullah kemudian sistem baru, sistem tanggung jawab sosial yang harus bersandar pada kepentingan umum.

Sistem ini kini fianut di Indonesia. Sebuah sistem yang muncul dari pasang surutnya kebebasan pers. Sistem yang muncul setelah pers mengalami masa-masa kelam, dengan mengorbankan jiwa dan raga pekerjanya.

Setelah dua setengah abad berlalu, kebebasan pers di Indonesia terjadi. UU No 40 1999 terbit yang mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. pembredelan dilarang? ***


***Diperkaya dengan referensi dari tulisan Maskun Iskandar dalam buku Panduan Jurnalistik Praktis. mendalami Penulisan, Berita dan Feature, memahami Etika dan Hukum Pers.

Tidak ada komentar: