Senin, 15 April 2013

Melek Media

Sekitar tahun 2009 lalu, orang-orang media seluruh dunia berkumpul di Jenewa, mereka melakukan konvensi tentang media literacy atau melek media. Maka, digagaslah agar orang media mensosialisasikan program ini ke masyarakat dan sekolah-sekolah.

Di Indonesia media literacy masih belum begitu gencar dilakukan. Beda dengan negara Amerika, atau yang paling dekat di Thailand. Di negeri gajah putih itu, melek media sudah masuk sekolah.

Melek media ini penting, karena saat ini media, baik cetak dan elektronik, sudah sangat akrab dengan masyarakat. Apalagi setelah merebaknya jejaring sosial.

Sayangnya, banyak yang abai mempertimbangkan manfaat saat terpapar informasi tersebut. Mengingat, efek media ini sangat tidak terbatas, baik usia dan strata sosial, bahkan hampir-hampir tak dapat dikendalikan.

Belum lagi informasi yang disampaikan media adakalanya tak objektif, mengingat setiap media sedikit atau banyak, punya “kepentingan” masing-masing. Ingat, media massa saat ini telah menjadi lembaga eknomi yang erat kaitannya dengan industri dan mekanisme pasar.

Mekanisme pasar artinya tak lepas dari aktivitas ekonomi atau bisnis yang erat kaitannya dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa.

Karena itu media massa saat ini berdiri pada dua kaki, satu kaki menjejak pada idealisme dan kaki lain pada industri. Idealisme ibarat hati untuk bisa merasa dan meraba, sedangkan industri ibarat jantung untuk menjaga agar hidup dan tumbuh.

Dari beragam uraian di atas inilah, melek media penting ditumbuh kembangkan pada masyarakat.

Mc Cannon, seorang tokoh komunikasi mengatakan, melek media diartikan sebagai kemampuan secara efektif dan secara efesien memahami dan menggunakan media massa..

Beda lagi James W Potter, yang mengartikan media literacy sebagai perangkat perspektif dimana kita secara aktif memberdayakan diri kita sendiri dalam menafsirkan pesan-pesan yang kita terima dan bagaimana cara mengantisipasinya.

Intinya, melek media ini menggungah kemampuan masyarakat untuk memfilter informasi, dengan cara menerima, menganalisa, menyeleksi dan menyikapi apa yang ditampilkan di media massa. Yang baik, bisa dijadikan referensi dan yang jelek bisa jadi pelajaran atau dibuang.

Kota-kota di Indonesia yang saya ketahui sudah merespon melek media ini, adalah Kota Malang. Di sana program ini tumbuh dari kampus. Adalah tim pengabdian masyarakat jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang menggagas program ini sejak tahun 2009.

Dosen-dosen kampus putih ini aktif terjun ke masyarakat, baik ke komunitas-komunitas, ke sekolah-sekolah hingga ke pendidikan anak usia dini. Mereka juga menggandeng orang tua siawa dan guru.

Tak hanya terjun langsung, juga program ini juga disebar luaskan melalui media massa, baik radio dan koran.

Tim yang terdiri dari dosen Komunikasi tersebut, aktif mengedukasi publik akan bahaya media dengan acara menganalisanya. Dari sana akan ditemukan apakah sebuah berita itu ada kekeliruan atau tidak, melanggar etika atau kaidah jurnalistik atau tidak.

Agar komunikasi kian intens, dosen-dosen tersebut juga aktif membentuk Simpul Media Literacy, dengan menggandeng jejaring pemirsa, pembaca dan pendengar yang disebut Kelompok Informasi Masyarakat (KIM), hingga ke kota-kota dan sekolah-sekolah di sekitar Malang, sebagai mitra pengawasan media.

Dari sini, melek media bisa terus ditumbuh kembangkan, sehingga masyarakat akan makin dewasa dalam menyikapi media.

Di Batam sendiri bagaimana? Jujur, belum ada gerakan yang intens seperti yang dilakukan Universitas Muhammadiyah Malang itu. Namun, bukan berarti tak ada yang merintis. Batam Pos yang pertama merintis media literacy ini.

Selain aktif mengedukasi ke sekolah-sekolah dan mahasiswa, Batam Pos, lewat rubrik Xpresi, aktif mengedukasi pembacanya bagaimana sebaiknya menerima, menganalisa, menyeleksi dan menyikapi apa yang ditampilkan di media massa.

Tim Xpresi yang dikomandani Andriani ini, juga aktif terjun ke sekolah-sekolah, ke kampus-kampus, menggelar event yang salah satunya ada sesi diskusi jurnalistik. Di harapkan nantinya, program melek media ini menular ke kampus-kampus di Batam.

Semoga juga Pemko Batam ikut tergugah menggagas program melek media ini, mengingat efek media harus dideteksi sejak dini, karena berpengaruh langsung pada perkembangan tingkah laku. Efek media yang buruk ibarat kanker, baru terasa ketika sudah lama diidap.

Bila semua sadar, maka masyarakat yang melek media sebagai mana yang diharapkan dalam konvensi di Jenewa, itu akan tercapai. Ingat, kata Einstein, informasi itu bukan pengetahuan.

Ada kutipan menarik yang disampaikan Novin Farid Styo Wibowo, dosen komunikasi UMM. Menurutnya, informasi bagaikan udara, ada yang bersih ada yang tidak. Kita kadang tidak tahu telah menghirup udara yang mana. Pilihannya adalah terus bernafas atau mati pelan-pelan akibat polusi itu. ***

Tidak ada komentar: