Minggu, 29 Agustus 2010

Baghdad dan Renaissan Islam

Setelah sebelumnya saya kisahkan sisi kelam, politik zaman Abbasiyah (Baghdad), kini saya akan mengurai sisi kecemerlangannya, saat Baghdad berada di zaman keemasan ilmu (renaissance) di dunia Islam yang mendorong kemajuan peradaban dunia. Tulisan ini saya sarikan dari tulisan sastrawan Gunawan Mohammad, mengutip dari buku ”The Story of Civilization”, Will Durant dan saya lengkapi dari beragam sumber.

Kota Baghdad dibangun oleh Khalif Al-Mansur, di atas sebuah kota tua zaman Babylonia. Itu bermula di tahun 762. Tadinya sang Khalif dan kantor pemerintahan di Kufa. Namun pindah ke Baghdad, karena sejuk di musimpanas, tak banyak nyamuk. Juga dekat sungai Tigris dan laut.

Al-Mansur mengubah nama Baghdad jadi "Medinat-al-Salam". 100 ribu pekerja dikerahkan untuk membangun kelengkapan pemerintahan, seperti istana dan lain-lain dalam 4 tahun. Dan Baghdad-pun menjelma menjadi kota terbesar di dunia di abad ke-10. Di saat Prancis masih berupa desa kecil, dan Amerika hanyalah dataran bukit padas.

Diperkirakan, penduduknya berangsur-angsur jadi antara 800 ribu sampai 2 juta. Penghuninya beragam. Tak cuma orang Muslim. Ada wilayah yang padat dihuni orang Kristen, Nestorian, dll.

Di era keemasan ini, tentu saja, para bangsawan dan orang kaya yang meramaikan arssitektur kota. Dari luar, tampak sederhana. Di dalam, lazuardi dan emas. Ada penulis memperkirakan, 22 ribu permadani terbentang di Istana Khalif. Di dindingnya, bergantung 38 ribu tapestri.

Seiring waktu, ketika istana al-Mansur dan Harun Al Rasyid mulai tak terawat, keturunannya membangun istana-istana baru yang mungkin lebih megah. Khalif al-Mutadid membangun istana yg kandangnya bisa menampung 9000 kuda, onta, dan keledai.

Sedangkan Khalif al-Muqtadir membangun sebuah istana dengan ”Balai Pohon” yang bercirikan sebatang pohon emas dan perak, dengan burung-burung perak pula.

Tapi tak hanya kemegahan bangunan yang ada. Kehidupan Baghdad tak jauh berbeda dengan kota-kota modern: ada yang bermutu dan tidak. Orang-orang berada menikmati balap kuda dan permainan polo. Minum anggur terlarang; menyantap makanan dari tempat-tempat jauh.

Sedangkan mereka yg lebih serius bertemu untuk dengarkan puisi dan menelaah filsafat. Anggotanya bisa datang dari mazhab dan agama lain. Di tahun 799, misalnya, tercatat sebuah klub filsafat dengan 10 anggota: Sunni, Syiah, Kristen, Yahudi, penganut Zoroaster (majusi), dan sebagainya.

Hasrat akan pengetahuan dan buku tampak marak. Di tahun 794, pabrik kertas pertama di dunia Islam dibangun. Teknologi ini bermula dari China di tahun 105, sampai ke Mekah tahun 707, di Spanyol tahun 950, di Itali tahun 1157, di Jerman tahun1228.

Di sekitar tahun 891, ada lebih dari 100 toko buku di Baghdad (lebih banyak mungkin ketimbang Jakarta kini). Toko buku ini dipakai juga untuk mengkopi, buat kaligrafi, dan pertemuan sastra. Para mahasiswa hidup dengan mengkopi buku. Minat pada buku juga tampak tinggi: waktu itu sudah ada orang-orang yang memburu tandatangan pengarang dan beli buku-buku kuno.

Kebanyakan masjid menyediakan perpustakaan (maktabah). Sekitar tahun 950 kota Mosul sudah punya perpustakaan yang didirikan atas inisiatif swasta. Di perpustakaan yang terbuka bagi publik di Rayy, buku demikian banyak hingga perlu 30 katalogus besar untuk mendaftarnya.

Para terpelajar dan orang kaya bangga bila punya koleksi buku yang banyak dan bermutu. Pernah seorang dokter diundang Sultan di Bukhara untuk tinggal di istananya. Ia menolak, sebab untuk mengangkut bukunya perlu 400 onta.

Tumbuhnya Iptek

Bersama gairah kepada bacaan itu, tumbuh ilmu pengetahuan. Pada masa itu bahasa Arab mulai dirumuskan gramatika dan pembakuannya. Juga lahir sejarawan seperti Ibnu Qutaiba (828-89) yang menulis sejarah dunia tanpa pendekatan yang Islam- dan Arab-sentris.

Di tahun 987, Muhammad al-Nadim menyusun ”Index Ilmu” (Fihrist al-'ulum): satu bibliografi semua buku asli dan terjemahan waktu itu. Indeks itu mencakup semua cabang ilmu, dengan biografi tiap pengarang. Kini hampir semua buku itu kini tak ditemukan lagi.

Ada lagi: Al-Masudi. Ia, asli Baghdad, menjelajah dunia sampai Sri Lanka. Ia tuliskan observasinya ke dalam 30 jilid ensiklopedia. Di tahun 947 versi ringkas dari karya besarnya itu terbit dengan judul ”Ladang Emas dan Tambang Batu Mulia”.

Yang menarik dari Al-Masudi ialah bahwa mungkin karena pandangannya tentang evolusi, ia diusir dari Baghdad. Ia pindah ke Kairo dengan sedih. Tapi Baghdad adalah kota Islam yg membuka diri ke segala penjuru. Ya, di sinilah diterjemahkan karya ilmu dan filsafat Yunani.

Kepala tim penterjemahnya seorang penganut Nestorian, Hunain ibn Ishaq (809-73), yg menyalin karya2 Aristoteles, Plato, sampai Hippocrates. Dikisahkan, bahwa Khalif al-Mansur biasa menghadiahi Hunain bin Ishaq emas seberat buku yg diterjemahkannya.

Yang menarik, Baghdad tak menerjemahkan karya-karya sastra dan teater Yunani kuno; dunia Islam itu lebih menyukai sastra dari Persia. Dari Yunani lama, yg diambil adalah filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam filsafat, Aristoteles berpengaruh dalam ilmu dan logika.

Dari logika tampak ada pengaruh Aristoteles dalam pemikiran theologis (kita lihat dalam Ibnu Farabi dan kemudian Ibnu Rushd). Islam Baghdad tidak menerjemahkan sastra Yunani karena alasan terlalu banyak mitos. Karya politik Aristotles tak pernah sampai ke tangan kaum Muslim. Plato lebih dominan.

Selain Yunani, juga menerjemahkan karya-karya satra India. Di tahun 773, atas titah al-Mansur, diterjemahkan ”Siddhanta”, risalah astronomi tua Hindu. Dari beberapa risalah Hindu ini mungkin para matematikus Islam ”menemukan” angka 0, yang sebelumnya tak dikenal.

Di tahun 976, Muhammad ibnu Ahmad menulis tentang perlunya konsep ”sifr” (kosong) yang di-Latin-kan jadi ”zephyrum” alias nol. Sebelumnya, di th 825 al-Khawarizmi menulis risalah yang akhirnya ditertjemahkan ke bahasa Latin: ”Algoritmi de numero Indiarum”.

Berdasar matematika Hindu itu, al-Khwarizmi memperkenalkan ”logaritma” pertama di dalam matematika. Al-Khwarizmi adalah Muhammad ibnu Musa (780-850). Ia disebut demikian karena ia lahir di Khwarizm, (Khiva) di Timur Laut Kaspia.

Sumbangan al-Khwarizmi kepada ilmu bukan main-main. Pertama, ia memperkenalkan per-angka-an India ke dunia Islam. Kedua, ia menghimpun tabel astronomi yg kemudian direvisi di masa Spanyol Islam (Andalusia); jadi pegangan pakar dari Cordoba sampai dengan China. Ketiga,ia merumuskan tabel trigonometri tertua yg pernah diketahui. Ia juga ia ikut menyusun ensiklopedia geografis buat al-Makmun.

Kata ”logaritma”, menurut bacaan saya, berasal dari terjemahan Latin atas al-Khwarizmi, ”Algoritmi”. Karya al-Kharizmi tentang hitungan ”integrasi dan equasi” hanya tinggal terjemahannya oleh Gerard dari Cremona di abad ke-12.

Terjemahan karya al-Khwarizmi ini dipakai di universitas-universitas Eropa sampai abad ke-16. Dari sini dikenal konsep dan kata ”aljabar”. Karya ilmuwan Islam di bidang matematika diimbangi oleh para pakar astronomi. yang menarik: mereka juga menjelajah bumi.

Di th 851 ada tulisan yg merekam perjalanan saudagar Sulaiman al-Tajir: rekaman kunjungan ke China, 425 tahun sebelum Marco Polo. Sebagai catatan pula, sebelum penjelajahan dunia dilakukan bangsa Eropa, astronom-astronom Arab-lah yang meluaskan penggunaan sextant, baik untuk navigasi maupun mengukur waktu terbitnya bintang.

Kembali lagi ke perjalanan Sulaiman al-Tajir (dia memang saudagar kaya), sampai ke China yg dikisahkan 4 abad sebelum Marco Polo. Selain itu, ada beberapa ”travel writers” lain, tapi yg terkemuka: al-Biruni (973-1048). Filosof, geografer, linguis, penyair.

Dia juga seperti al-Khwarizmi, lahir di Khiva. Para penguasa setempat melihat bakatnya yang besar dan memberinya tempat di istana. Tapi suatu hari Mahmud al-Ghazni yang berkuasa di Afghanistan (971-1030) minta agar yang berkuasa di Khwarizm mengirim al-Biruni. Maka al-Biruni pun dikirim ke istana Mahmud, di tahun 1018. Dan mungkin berkat Mahmud ia masuk ke India dan tinggal di sana.

Sekembalinya dari India, ia tinggal jadi kesayangan Sultan Mahmud dari Ghazni. Putra Mahmud, Masud, kebetulan juga ilmuwan amatir. Di tahun 1000 Masehi, al-Biruni menerbitkan ”Athar-ul-Baqiya”: telaah ttg festival agama-agama di bangsa Persia, Yunani, Yahudi, Arab dll.

Pendekatannya ilmiah, tak memihak. Di pengantar buku ia menulis agar kita membersihkan pikiran dari ”adat lama, semangat partisan”. Sementara Mahmud mengguncang India dengan tentaranya, al-Biruni menerbitkan mahakaryanya, ”Tarikh al-Hind” (Sejarah India).

Dalam 11 bab, ia telaah agama-agama Hindia. Ia terpikat oleh ”Bhagavad Gita”. Ia melihat persamaan mistik Vedanta dengan Sufisme. Ia bandingkan para pemikir India dengan Yunani. Ia lebih suka Yunani. India, katanya, tak melahirkan Socrates.

Dalam alam pikiran India, tak ada ”metode logika yang menghalau fantasi dari ilmu,” kata ilmuwan itu. Tapi ia terjemahkan juga beberapa karya ilmiah Sanskerta ke bahasa Arab. Dan ia terjemahkan karya Yunani ke bahasa Sanskerta.

Seorang penelaah menyimpulkan al-Biruni cenderung ke kaum Syi'ah, dengan sedikit cenderung agnostik (bagi orang agnostik, Tuhan ada atau tak ada itu bukan soal baginya. Intinya agnostik tak beragama). Tapi pada dasarnya ia ilmuwan. Karya ilmiahnya meliputi banyak bidang: satu ennsiklopedia astronomi, satu theotrem geometri, hasil eksperimen fisika.

Seperti halnya Ibnu Sina, orang segenerasinya, Firdausi, Ibnu a-Haitham, al-Biruni menunjukkan puncak keilmuan dunia Islam. Itu tak datang tiba-tiba. Di zaman sebelumnya ada Jabir ibnu Hayyam (702-65), yang karyanya mempengaruhi ilmu kimia di Eropa.

Ilmu kimia memang praktis produk dunia Islam waktu itu. Sayangnya sejak abad ke-10 merosot, tak bangkit lagi. Dengan pengetahuan kimia yang canggih, ilmu kedokteran berkembang. Meskipun lemah dlm soal anatomi, ia maju dalam dunia farmasi.

Perdagangan obat dengan Eropa tumbuh (juga ada sekolah farmasi pertama di zaman itu di dunia), dan yang juga maju adalah rumah sakit. Rumah sakit pertama di Baghdad didirikan di masa Harun al-Rashid. Ada lima kurang-lebih. Di tahun 931 ada 860 dokter yg bekerja. Para dokter itu hrs punya lisensi dr kerajaan. Tak ada yg boleh praktek tanpa lulus ujian.

Perdana Menteri Ali ibn Isa, yang juga dokter, mengatur staf dokternya untuk berkeliling mengobati. Juga mengunjungi penjara. Para dokter bisa kaya seperti zaman ini. Apalagi kalau jadi dokter kerajaan. Misalnya Jibril ibnu Bakhtisa, dokter pribadi Harun Al Rashid.

Tapi tak di situ kedokteran maju. Juga dalam karya ilmiah. Yang termashur al-Razi (844-926), orang Parsi kelahiran dekat Teheran. Ia pakar kimia dan kedokteran di Baghdad, yg menulis sekitar 130 buku. ”Kitab al-Hawi” saja terdiri dari 20 jilid.

Diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai ”Liber continens”, dipakai di Eropa sampai beberapa abad, misalnya di Universitas Paris di tahun 1395. Al-Razi juga menulis risalah tentang cacar air: telaah tentang penyakit menular yg sangat berpengaruh karn akurat.

Buku itu misalnya diterjemahkan ke bahasa Inggris, dan terbit sebanyak 40 edisi dari th 1498 sampai 1866. Tapi kadang-kadang al-Razi menulis buku yang kocak. Misalnya ”Tentang Fakta bahwa Dokter yang Pintar Tak bisa Menyembuhkan semua Penyakit”.

Al-Razi, sayang sekali, karena sebab yang tak diketahui, wafat dalam keadaan miskin pada usia 82 tahun. Mungkin ia tak melambangkan bangkit dan jatuhnya ilmu dan ilmuwan di dunia Islam - yang sejak Baghdad tak pernah marak lagi. Tapi memang zaman keemasan ilmu di dunia Islam sejak itu tak kembali lagi. Malah karya-karya ilmuwan Islam berkembang di Eropa.

Apa sebab kemerosotan itu? Memang terjadi kebangkitan kembali dalam filsafat di abad ke-11 dan 12 di Spanyol. Tapi sejak itu padam. Sejarawan bisa menjelaskan dari pelbagai sudut. Tapi yg tak bisa dilupakan ialah bahwa justru di Eropa berlanjut semangat Baghdad.

Semangat Baghdad adalah semangat eklektik: mau menerima dan mengolah ilmu + informasi dari mana saja (bahkan sampai ke China). Semangat Baghdad adalah semangat bertanya, mencari, menelaah, meneliti, bukan ketakutan akan kemerdekaan berpikir.

”Bayt al-Hikmah” (Rumah Kearifan) yang didirikan al-Mansur dilanjutkan universitas-universitas Eropa, yang berani meneruskan ilmu dari dunia lain. Bahwa di Eropa, halangan otoritas agama dan politik akhirnya dapat diterobos dengan korban besar untuk ilmu, itu perlu telaah tersendiri. ***

Tidak ada komentar: