Selasa, 17 Agustus 2010

Mardijkers belum Mahardika

”M E R D E K A!

Beginilah bunyi SMS yang saya kirim ke beberapa rekan saat detik-detik proklamasi, 17 Agustus, kemarin. Di antara mereka ada psikolog, legislator, hingga pak Bos di kantor. Jawabannya sungguh beragam. Namun ada juga yang merasa saya aneh, tiba-tiba jadi nasionalis.

”He he he... Nasionalis betul ya?” sebuah reply saya terima. Ada juga yang lain, ”Sudah lama merdeka Mas. Ini lagi upacara di Tumenggung (Stadion Tumenggung Abdul Jamal, Batam, tempat upacara bendera dipusatkan).”

Ada juga yang skeptis, ”Merdeka apanya, kita masih dijajah oleh penindas yang membungkam kebebasan berpendapat,” jawaban seorang aktivis. Yang mentik ada yang membalas, ”Merdeka? Bagi rakyat kecil belum, tapi bagi pejabat sudah. Betul nggak? he he.”

Sementara, seorang psikolog menjawab, ”Orang yang teriak-teriak merdeka itu, sebenarnya merasa belum merdeka. Semakin nyaring teriakannya, semakin rasa ketertindasannya!”

Merdeka merdeka merdeka. Kemarin, semua meneriakkannya, lalu disertai harapan dan mengartikan merdeka sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Kaum akademis, cenderung mengartikan kemerdekaan dengan hal-hal yang empiris. Misalnya, mengkaitkan kemerdekaan dengan warna bendera kita, ”Merah-Putih = Berani dan Bersih. Itulah arti kemerdekaan kita, jadi bangsa yg berani dan bersih.

Ada juga yang mengutip ucapan Sang Proklamator Soekarno, ”Republik Indonesia bukan milik sesuatu golongan, agama, suku, adat. Tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!”

Begitulah seterusnya. Teriakan-teriakan ini, bergaung hingga ke situs jejaring sosial Twitter dan Facebook.

Di Twitter, mulai budayawan hingga menteri pun memberikan definisinya tentang kemerdekaan ini. Di akhir kmentar tertulis #Indonesia65 sebuah tanda trending topic.

”Hati yg merdeka menghargai, mencari sama dalam beda, menunjukkan cara bukan cerca, menasehati dg cinta bukan menghina.” tulis Menkominfo Tifatul Sembiring di akun twitter-nya.

Selanjutnya Tifatul mengisahkan sedikit sejarah tentang proklamasi dan makna kemerdekaan, lalu ditutup ”Namun kebebasan, kemerdekaan, demokrasi harus diatur konstitusi, undang-undang dan aturan-aturan lain. Kebebasan mutlak tanpa aturan adalah kehancuran.”

Yang menarik, Tifatul nge-tweet sebelum acara detik-detik Proklamasi dimulai, jadi sebelum pidato prsiden. ”Saat saat naikkan bendera saya hormat, upacara berdiri, waktu lagu-lagu aubade saya nge-tweet lagi,” kisahnya.

Sementara itu, di Twitter-nya, Gunawan Muhammad banyak mengurai mengapa upacara hari Proklamasi di Istana Negara yang bersifat militeristik, serta pidato Bung Karno yang memukau itu.

Selanjutnya dia mengimbau agar beberapa menit saja, berhenti mencemooh sesama, dari posisi politik manapun, selama ia tak menentang ke-Indonesia-an kita.

Begitulah riuh rendah akan makna kemerdekaan ini. Teriakan ini juga menggema di kalangan rakyat jelata. Bedanya, kalimat ”Merdeka” yang mereka sampaikan, selalu di akhiri dengan tanda tanya (?) bukan tanda seru (!).

Mereka bertanya, merdeka? Apa iya? Kalau merdeka dalam arti memiliki negara, tentu sudah. Kalau kata ”merdeka” yang merujuk dari kata ”Mardijkers”, yang artinya orang yang terbebaskan, tentu iya. Namun ini baru sebatas independence, belum freedom. Namun untuk disebut Maharddhika, yaitu bahasa Sanskerta yang berarti ”orang besar” atau ”orang hebat”, masih jauh.

Apalagi bila dibilang merdeka dari penjajahan, apa iya? Bukankah kita saat ini masih dijajah? Kalau kita dijajah kaum kolonial yang mengeruk kekayaan bumi ini, sekarang penjajah kita bisa jadi penguasa-penguasa korup yang tak kalah gilanya mengeruk kekayaan negeri ini untuk kepentingan pribadi.

Toh perlawanan rakyat akan penguasa tetap terjadi, motifnya juga sama dengan perlawanan rakyat dengan kolonial dulu.

Bila dulu Pangeran Diponegoro mengangkat senjata karena kuburan leluhurnya akan digusur untuk pembangunan jalan oleh Belanda, bandingkan peristiwa ini dengan kasus makam Embah Priok, baru-baru ini.

Bila dulu holding dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) membawa tentara untuk mengamankan bisnisnya di Nusantara, saat ini betapa banyak oknum aparat yang disewa cukong untuk mengamankan bisnisnya?

Hal inilah yang membuat masyarakat awam yang kurang mengerti akan makna kemerdekaan, banyak mendifinisikan kemerdekaan dengan pengetahuan atau masalah yang dekat dengannya.

”Merdeka itu mestinya bebas dari ledakan tabung gas elpiji,” keluh ibu rumah tangga miskin yang resah oleh ledakan tabung gas 3 kilogram. Sedangkan pedagang kaki lima di trotoar dan penghuni rumah liar, mengatakan bahwa merdeka itu bebas dari penggusuran.

Sedangkan ibu-ibu yang susah melihat meroketnya harga sembako yang tak tertanggulangi oleh pemerintah daerah, mengatakan saat ini belum merdeka. Menurutnya, merdeka, ya harus bebas dari harga mahal. ”“Mirip zaman penjajah aja,” rutuk mbah Saniyah, saat saya temui di Pasar Mitra Raya, Batam Center.

Salahkah definisi mereka?

Tentu saja tidak. Meski yang mereka sampaikan adalah kebenaran parsial. Namun tetap saja kebenaran. Bisa jadi ini adalah buah kebenaran objektif karena mereka tak pernah menganal atau mengecap arti kemerdekaan sebenarnya.

Tidak ada komentar: