Jumat, 22 Mei 2009

Plih Harta atau Ilmu (2)

Saat itu, Meiji perlahan tapi pasti, menghapus samurai sebagai kelas berbeda dan digantikan dengan tentara nasional menyerupai negara Barat. Meiji malah memerintahkan, mengganti katana dengan pena.

Yang menarik dari Restorasi Jepang adalah, para aktor yang sangat gigih memperjuangkan reformasi itu berjumlah tidak lebih dari 100 orang muda yang cerdas dan berdedikasi tinggi.

Titik berat dari proses restorasi itu adalah di bidang pendidikan. Saat itu juga, Jepang banyak mengirim banyak pemudanya untuk belajar ke luar negeri dan Jepang banyak mengambil sistem Jerman dalam segala proses kehidupannya.

Sebuah catatan menulis, Restorasi Jepang itu berjalan sangat cepat dan efisien tahun 1853. Dengan konsep ini, mereka mampu berubah dari negara tradisional yang tertutup, menjadi kekuatan militer dengan angkatan laut yang sangat tangguh sehingga dapat mengalahkan secara mutlak armada raksasa Rusia di Selat Tsushima, menyapu bersih kepulauan Sachalin, mengambil Korea dan Semenanjung Liau-Tung dari Rusia, serta Port Arthur dan Dairen, hingga meluaskan sayapnya ke Indonesia.








Selain Jepang, negara lain yang berkembang pesat setelah mengedepankan ilmu pengetahuan adalah Malaysia.

Banyak orang percaya, keberhasilan Malaysia bangkit begitu cepat dari keterpurukan berkat andil besar dunia pendidikan yang mampu menghasilkan manusia-manusia berkualitas dan mandiri.

Ya, siapa yang menyangka Malaysia bisa semaju ini. Dulu, mereka sangat terbelakang. Saya jadi teringat psikolog Sartono Muqaddis pernah bercerita, dulu di UI, rekan-rekannya paling ogah berkawan dengan mahasiswa asal Malaysia. “Kampungan,” katanya.

Dulu Malaysia memang kampungan, namun saat itu mereka sadar. Merekapun bertekad untuk maju. Caranya, dengan menguasai ilmu pengetahuan. Hingga saat terjadi ”bom minyak” era 1960-an hingga 1970-an, Malaysia memanfaatkan keuntungan yang diperolehnya dengan membiayai beragam proyek pendidikan.









Di antaranya mereka banyak mendatangkan guru dari Indonesia, selain juga menyekolahkan anak-anak gemilangnya ke berbagai sekolah terbaik di dunia, seperti Inggris, Australia, dan Amerika Serikat, juga Indonesia.

Umumnya, sepulang dari belajar di luar negeri, mereka inilah yang kemudian menjadi pimpinan di banyak lembaga pemerintahan di negeri ini. Disokong mereka yang menamatkan pendidikan di dalam negeri, termasuk mantan Perdana Menteri Mahatir Mohammad yang menyelesaikan pendidikan di Singapura, bidang pendidikan menjadi perhatian.

Di dalam negeri sendiri, sistem pendidikannyapun juga dirancang dengan baik. Saat Indonesia masih berkutat pada upaya pemerataan pendidikan lewat pembangunan SD-SD Inpres, Malaysia sudah berbicara pada tataran peningkatan kualitas pendidikan.

Ketika Indonesia masih disibukkan perdebatan soal “ganti menteri ganti kurikulum”, Malaysia sudah menggagas apa yang mereka sebut pendemokrasian pendidikan.









Lalu, ketika tokoh dan birokrat pendidikan di Indonesia sibuk berdebat tentang apa dan bagaimana sesungguhnya sistem pendidikan nasional; belakangan tentang wacana seputar pendanaan pendidikan minimal 20 persen dari APBN/APBD.

Sedang Malaysia sudah bicara tentang bagaimana strategi mewujudkan suatu sistem pendidikan bertaraf Internasional.

Dan itu tidak main-main. Keinginan untuk go international langsung dituangkan dalam rumusan misi utama Kementerian Pendidikan Malaysia, yang berbunyi, “Mewujudkan sistem pendidikan bertaraf dunia bagi merealisasikan potensi sepenuhnya setiap individu, di samping memenuhi aspirasi masyarakat Malaysia.”










Selain itu, dukungan kerajaan akan lembaga pendidikan sendiri sangat besar. Misalnya, memperhatikan kesejahteraan, sokongan dan berbagai kemudahan bagi guru untuk menaikkan status sosial mereka.

Dengan begitu, perhatian mereka pada tugas dan tanggung jawab sebagai guru menjadi lebih terfokus. Lebih dari itu, kesempatan mereka untuk bisa mengembangkan diri agar memiliki tampilan dan sosok sebagai pendidik sejati terbuka lebar.

Selain itu, di sekolah guru meletakkan disiplin sebagai “panglima” pada semua muridnya. Untuk itu, ada buku panduan khusus, ysng disebutnya sebagai tools management.

Di dalam buku panduan yang juga disebarkan kepada para orangtua murid itu diatur hingga amat detail tentang hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan. Aturan itu berlaku untuk semua. Tak ada pengecualian, bahkan terhadap anak pejabat sekalipun.

Aturan-aturan itu tidak sekadar di atas kertas, tetapi benar-benar dilaksanakan.
Kini, setelah hampir 30 tahun lebih berlalu, Malaysia berhasil menuai usaha yang mereka tanam.

Tantangan pendidikan yang mereka hadapi tidak lagi menyangkut hal-hal mendasar, seperti ambruknya gedung-gedung sekolah dan tingkat kesejahteraan guru, tetapi pada berbagai input lain dari pendidikan sebagai sebuah proses.

Karena ilmulah, derajad dan harkat Malaysia terangkat. Dari sini ada seloroh, dulu mereka sering dibilang manusia yang tinggal di atas pohon, namun sekarang? masih juga tinggal di atas pohon, namun naiknya sudah memakai lift!







Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Sudahkah ilmu pengetahuan (pendidikan) dijadikan senjata utama untuk maju? Tampaknya kita sudah menyadarinya. Namun, banyak tantangan pendidikan yang kita hadapi menyangkut hal-hal mendasar.

Bacalah koran, berapa banyak sekolah yang ambruk atau kurang diperhatikan sehingga tutup? Lihat juga, betapa banyak sekolah yang ”miskin” namun banyak peminat yang terseok-seok untuk bisa eksis, akibat minimnya perhatian pemerintah.

Belum lagi, saat musim penerimaan siswa baru tiba, berapa banyak kepala sekolah yang pusing karena harus mengamankan titipan dari pejabat teras? Mereka ditelan dilema, antara menjalankan aturan sesui standar yang berlaku atau takut akibat ancaman surat sakti.

Yang lebih parah, berapa banyak insentif guru yang tak jelas rimbanya. Biasanya mereka terima tiap empat bulan sekali, kini tak jelas lagi. Meski cair, itupun sudah lewat hingga enam bulan. Ada dugaan, selama dua bulan insentif itu dibungakan dahulu oleh oknum tak bertanggung jawab.

Gurupun bertanya kok haknya belum diterima? Jawabnya, malah bikin bingung; masih ini dan itu. Katanya masih menunggu pemutahiran data, atau nyendat di Provisni dan sebagainya.

Belum lagi, banyak data penerima insentif itu yang kacau balau. Kadang ada guru yang sudah meninggalpun masih masuk daftar penerima.

Banyak lagi hal lain, yang membuat sistem pendidikan kita kian terpuruk. Kalau begini, kapan kita bisa maju? Oh, apa nasib Bumipertiwi...

Tidak ada komentar: