Jumat, 15 Mei 2009

To Be Number One

Ingin maju? Milikilah mental juara.
Kalimat ini singkat, padat, namun memiliki makna yang dalam. Perlu keberanian, keluletan dan keenceran otak untuk bisa menerapkannya.

Mental juara, yang berarti setiap kita harus memiliki semangat menjadi nomor satu. Bukan semangat nomor dua apalagi nomor tiga. Lihat saja pada lomba balap formula 1.

Hanya yang memiliki mental untuk menjadi nomor satulah yang bisa berhasil menjadi nomor satu. Sedangkan pemain (tim) yang dipasang untuk memback-up atau pengalih, tentu tak akan bisa nomor satu.

Dari sini saya teringat akan sebuah koran yang dulu berkembang cukup bagus. Akhir-akhir ini, pertumbuhanya ta maksimal. Bahkan cenderung rugi.

Apa yang salah di sini, manajemennya? Ya bisa jadi. Namun yang utama, ternyata kemunduran koran ini akibat kebijakan redaksinya yang memang membuat koran ini untuk mem-back-up pertumbuhan koran sekutunya.

Ya wajar sajalah, selama kebijakannya demikian, selama itu pula mereka tak akan menjadi koran nomor satu.







Hal serupa bias kita amati pada kemajuan shampo Sunslik. Dulu, orang mengenal Sunslik sebagai shampo kelas bawah. Shampo-nya orang desa. Anggapan ini muncul, karena manajemen Sunslik sendiri yang membikin citra tersebut.

Maklumlah, Sunslik memiliki kebijakan sebagai shampo untuk memback-up produk saudaranya yang memang dikhususkan pada kalngan menengah atas.

Maka tak heran, dulu dalam setiap iklanya, selalu di sana ditampilkan seorang gadis anggun berwajah bulat bermata sayu, berkebaya, dengan rambut panjang terurainya.

Selalu saat itu digambarkan, si gadis berlari-lari di antara hijaunya alam pedesaan atau pegunungan. Kadang di air terjun, kadang juga di pematang sawah. Begitu terus berulang-ulang, sehingga citra Sunslik sebagai shampo wanita anggun terus terpatri. Dan memang berhasil. Ingat rambut panjang, ingat Sunslik.

Lalu apa yang terjadi? Sunslik kesulitan memasuki pasar perkotan. maklumlah, wanita di kota-kota identik dengan segala hal yang dinamis. Dan biasanya, rambutnya jarang ada yang panjang terurai.







Semua wanita kota hampir dipastikan menjadi korban Demi More (KDM). Rambutnya, selalu dipotong pendek, bahkan nyaris cepak. Katanya gerah jika rambut terlalu panjang, tak bebas bergerak. Untuk itulah, mereka lebih enak jika memilih shampo yang mencitrakan wanita yang dinamis, berambut pendek, seperti Rejoice dan semacamnya.

Namun, kini image tersebut dibuang jauh-jauh, Sunslik tak lagi mengidentikkan sebagai shampo nomor dua. Sunslikn tak lagi identik dengan wanita desa nan anggun. Sunslik kini tampil lebih dinamis.

Wanita dalam iklannya-pun tak lagi main-main di sawah atau air terjun, namun juga bisa main di kantor mewah, dengan segala macam asesoris modrennya, termasuk mobil mewah. Meskipun, tetap mempertahankan citra rambut panjang.

Hasilnya, Sunslik sukses meraup konsumen baru, wanita muda perkotaan, bahkan kalanga atas sekalipun kini tak malu pakai Sunslik.

Hal serupa bisa kita saksikan bagaimana PT Wings berkembang, dari perusahaan kelas dua menjadi kelas satu. Semua ini mereka dapat, setelah mereka mengubah posisinya

”untuk menjadi produk nomor dua Unilever,” yang nota bene pesaingnya sendiri. Maklumlah, semula pemikiran tersebut ada karena produk Wings selalu lebih murah dari produk Unilever.









Lalu, bagaimana mereka bergerak? Tak ada kata lain, membikin terobosan baru. Terutama dari sisi pencitraan. Iklan-iklannya tak lagi norak, kalimat yang selalu bilang ”murah murah...” diubah menjadi ”lebih hemat ya...”

Bintang-bintang yang dipasang pun, tak kalah dengan yang dipasang Unilever.
Hasilnya, brand awarness konsume akan produk Wings kian lekat. Kini Wings setara dengan Unilever.

Luar biasa. Dari sebuah pemikiran to be number one-lah, kita bisa menjadi nomor satu. Karena kalau hanya berpikir mengekor, maka ya, akan jadi pengekor.


Bagaimana pendapat Anda?

Tidak ada komentar: