Kamis, 28 Mei 2009

Jalan Saiton

Manusia cenderung mudah melakukan identifikasi pada hal-hal yang baru dikenalnya. Semua ini guna memudahkan kognisinya, sehingga hal yang baru tersebut akan mudah diingat.

Identifikasi ini diambil, bisa dari kesan pertama atau peristiwa yang terjadi saat itu. Dari sinilah, timbul asosiasi atau manajemen persepsi. Bisa baik, bisa buruk.
Misalnya, kita sering mendengar percakapan seperti ini, ”Anak ibu yang mana? Yang berkacamata itu ya? Pantes pinter.”

Kata ”Yang berkaca mata itu” berguna untuk memudahkan kognisi dalam menandai anak yang dimaksud. Sedangkan kata ”pantes pinter”, adalah asosiasinya, melihat selama ini para profesor selalu identik dengan kacamata.

Identifikasi ini jualah yang melatar belakangi asal muasal nama bangunan, bahkan daerah.

Di Jakarta, misalnya ada Glodok. Konon nama ini berasal dari kata ”grojok” yang merupakan sebutan dari bunyi air yang jatuh dari pancuran air. Di tempat itu dahulu kala ada semacam waduk penampungan air kali ciliwung. Lidah orang Tionghoa di sana, menyebut ”grojok” sebagai ”glodok”, hingga lama kelamaan lekat menjadi ”Glodok”.

Ada juga Senayan. Dulu daerah ini adalah milik Wangsanaya, asal Bali. Tanah tersebut disebut orang-orang setempat dengan ”wangsanayan” yang berarti ”tanah tempat tinggal” atau ”tanah milik Wangsanaya”. Lambat laun akhirnya orang menyingkat nama ”Wangsanayan” menjadi ”Senayan”.









Di Kepri, tentunya kita sangat mengenal Pulau Penyengat. Tahukah Anda, bahwa nama pulau tersebut berasal dari sebuah peristiwa, ketika sekumpulan pelaut singgah di pulau ini untuk mengambil air tawar, mereka disengat sekawanan lebah. Saat itulah, mereka menamakan pulau tersebut ”Penyengat”.

Sebutan ini adalah reaksi kesan yang didapat pelaut dari pulau tersebut. Lama-lama, kesan ini kian lekat. Tiap melintas pulau itu, kognisi mereka langsung tersambung pada peristiwa penyengat. Hingga beratus tahun, nama ”penyengat” terus melekat pada pulau yang pernah menjadi Pusat Pemerintahan Kerajaan Riau Lingga itu.

Di Batam, lebih menarik lagi. Di sini ada daerah bernama Nagoya. Salah satu versi mengatakan, nama ”Nagoya” muncul sejak survei awal pengembangan Otorita Batam, kira-kira tahun 1960-an. Dalam survei awal itu, banyak orang Nagoya, Jepang terlibat dan berkemah di daerah yang sebenarnya bernama Lubuk Baja itu.

Dari sini, masyarakat setempat ketika ditanya mau ke mana, maka menjawab ”Mau ke tempat orang Nagoya.” Selanjutnya, dari mulut ke mulut, lama-lama warga Batam terbiasa menyebut nama Nagoya dibanding Lubuk Baja.









Di Jodoh, juga ada daerah bernama Belakang BCA. Sesuai namanya, letaknya berada di belakang gedung Bank Central Asia. Sebutan ini bermula dari penduduk di sana, untuk memudahkan masyarakat mengenal daerahnya.

Maklum saja, warga Batam lebih mengenal nama wilayah daripada nama jalan. Padahal kalau berdasar nama jalan, kawasan Belakang BCA tersebut masuk Jalan Raja Ali Haji, dan kawasan Nagoya sendiri masuk jalan Imam Bonjol.

Banyak lagi, nama daerah di sini yang berasal dari identifikasi. Sebut saja Bengkong Polisi, karena di sana terdapat asrama polisi. Bengkong Kodim, karena di situ ada asrama Kodim 0316 Batam.

Simpang Jam, karena di simpang ruang jalan protokol itu, terpasang jam besar, bahkan sulu ada daerah bernama Sameong, karena yang membuka kawasan tersebut adalah Samyong.

Selain itu, masyarakat Batam kerap menyebut orang yang naik motor bebek sebagai ”ojek”. Kenapa? Karena, dulu sebelum transportasi di batam tertata, angkutan yang paling banyak digunakan adalah ojek, yang umumnya menggunakan sepeda motor bebek. Dan lain-lain, dan lain-lain.









Dalam proses identifikasi ini, ada kalanya digambarkan secara persis, ada pula yang kiasan. Hal ini biasanya muncul dari rasa kesal dan geram. Misalnya, saat ini berkembang sebutan baru untuk jalan berlubang, khususnya yang berada di sekitar Baloi, sebagai ”Jalan Setan”.

Namun, ini bukan berarti wajah setan seperti jalan berlubang di sana. Maksud kata tersebut, untuk menggambarkan alangkah buruk dan kejamnya jalan tersebut, sesuai dengan sifat setan itu sendiri. Untuk itu, harus hati-hati, bila tidak maka Anda akan terperosok atau lebih parah, bisa-bisa Anda jatuh jadi korbannya.

Bisa jadi, sebutan itu muncul dari sumpah serapah pengguna jalan, yang setengah mati tersiksa melintas di jalan yang berada di tengah kota tersebut.

Sebutan ”jalan setan” juga bisa diartikan, sebagai bentuk rasa geram masyarakat. Mereka protes, kok hal ini dibiarkan saja? Alasan pemerintah bisa saja karena inilah, itulah, tapi masyarakat mana tahu akan hal tersebut. Pemikiran mereka cukup sederhana, yang penting jalan yang menjadi haknya tersebut diperbaiki. Titik.

Bagi mereka, sudah menjadi tugas pemerintahlah untuk menyediakan saran dan prasarana yang baik bagi warganya. Sebagaimana pemerintah mewajibkan mereka membayar pajak, apakah mereka mau peduli bila masyarakat menunggak? Tentu tidak. berani coba-coba, akan langsung dikenakan sanksi.

Inilah yang mungkin membuat masyarakat geram. Semua protes sudah dilakukan, namun tak ada juga perubahan. ”Giliran kewajiban kami harus dilaksanakan, sementara hak kami tak diperhatikan. Enak di lu tak enak di gua?” keluhnya.

Mungkin dari sinilah mereka mengidentikkan jalan tersebut, sebagai ”jalan setan”.

Tidak ada komentar: