Senin, 10 Agustus 2009

Menelusuri Ide Kris Wiluan Membangun Kerajaan Bisnis (1)

Sabtu (8/8) sore lalu, saya menyertai Direktur Utama Batam Pos Marganas Nainggolan bertemu Kris Taenar Wiluan, bos Citra Group yang tahun 2008 lalu dinobatkan sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, versi Majalah Forbes. Banyak hal yang bisa dipetik dari sini.

Bincang santai ini bertempat di Taming Sari Cafe, Turi Beach Resort, salah satu resort milik sang taipan yang terletak di Nongsa, Batam. Cafe ini terletak di bagian belakang, sebelah kolam renang.

Panorama di cafe ini cukup menarik. Sembari bersantai menikmani kuliner, pengunjung bisa menikmati keindahan pantai dan lalu lalang kapal yang melintas. Bila lebih jauh lagi, kita bisa memandang panorama Johor, Malaysia.

Untuk menuju ke sini, dari jalan utama kita masih melalui puluhan anak tangga menurun, melintasi lobi dan areal taman dan air mancur yang asri. Maklumlah, Turi Beach Resor dibangun mirip konsep terasiring.

Di Turi Beach Resort, kami disambut orang kepercayaan Chris Wiluan, Burhan. ”Bapak duduk di sini, biar Pak Chris duduk di sini,” ujarnya, mempersilakan Marganas, sembari menunjuk dua dari tujuh kursi yang mengelilingi meja makan besar di pojok ruangan.

Tak sampai 5 menit menunggu, Kris Wiluan datang, diiringi para petinggi di beberapa perusahaannya. Di antaranya adalah Agus Hidajat, Direktur Utama PT Sarana Citra Nusa Kabil, yang juga Direktur Kabil Citra Nusa Industrial Estate di bawah komando Peters Vincent.

Selanjutnya Chris langsung duduk di kursi di dekat Marganas. ”Apa kabar,” ujar pria berambut perak ini, menyapa akrab.

”Baik,” jawab Marganas.

”Sudah pesan (makanan)? Ayo pesan,” ujarnya.

Selanjutnya, mereka terlibat perbincangan hangat, bagai dua sahabat yang lama tak bersua. Sesekali, beberapa humor segar dan tawa renyah terlontar.

Tak lama, Chris berganjak dari kursinya. Kemudian dia kembali lagi. Selang beberapa saat kemudian, waiter datang membawa hidangan. Rujak manis bengkoang dan nenas, serta dadar isi wortel daging.

Menu inilah yang menemani perbincangan kami. Di susul kemudian, laksa isi udang dan mie. Semua memiliki cita rasa yang mantap. Dan ternyata, Chris sangat menikmati kuliner ini. Ternyata Chris suka rujak dan laksa ini.

Bagi saya yang baru bertemu sedekat ini, melihat sosok Chris sangat keren. Saat itu, Chris tampil dengan baju ranger warna biru langit. Seuntai kalung emas berbandul kecil, terkadang menyembul dari balik bajunya yang dua kancingnya sengaja dilepas hingga dada.

Dandanannya yang selalu muda dan trendy ini, mengingatkan kita pada konglomerat dari negeri Paman Sam, Donald John Trump.

Gaya bicaranya juga komunikatif. Untuk ukuran seorang konglomerat, bahasanya sangat gaul. Nada suaranya juga bagus, sehingga bila tak melihat langsung, seolah kita mendengar bahwa itu suara orang muda belia.

Pada lawan bicaranya, sikap Chris cukup baik. Siapaun itu, akan dia dengarkan lalu disimak. Bahkan bila dirasa pendapat tersebut bagus, Chris tak segan memuji lawan bicaranya. Namun bila tidak, tidak dilecehkan. Dan yang pasti, dia murah senyum.

Yang menarik dari seorang Chris Wiluan adalah, sangat bersemangat bila pembicaraan itu menyangkut harga diri bangsa. Dari dulu, dia selalu berpendapat bahwa bila orang lain bisa, mengapa kita tidak?

Falsafah inilah yang menjadi dasar dia mendirikan kerajaan bisnisnya, yang semua didasarkan pada nasionalisme. Dari sini jualah, insting bisnisnya terasah tajam, lalu menciptakan ide peluang usaha skala besar.

Lihatlah bagaimana dia membangun beberapa perusahaan di Batam, yang idenya bermula dari pengalamannya saat berkunjung ke Singapura dan Malaysia.

Dia bercerita, pada awal merintis usahanya ini dia melihat Singapura yang tak memiliki sumber daya alam, bisa berhasil hanya dengan memanfaatkan sumberdaya alam Indonesia, dalam hal ini minyak dan gas.

Di sini mereka membangun pangkalan, logistik dan beberapa usaha penunjang migas lainnya, seperti membuat alat-alat pengeboran (rig).

Saat itulah Chris terpikir, mengapa tidak di Batam? Bukankah Indonesia adalah negara penghasil migas? Bayangkan, sekitar 70 persen alat-alat pengeboran minyak dibuat di Singapura.

”Mengapa kita tak bisa menyuplai, tak usah 10 persen, 2 persennya saja sudah bagus,” ujarnya.

Dari sinilah di akhir tahun 70-an dia punya ide mendirikan pangkalan, logistik minyak, hingga pembuatan pipa pengeboran di Batam.

Idenya ini rupanya sejalan dengan Ibnu Sutowo, Kepala Pertamina Pertamina saat itu yang ingin menjadikan Batam sebagai pangkalan logistik minyak. Karena itulah Ibnu meminta seluruh oil company membuka logistik di Batam, tepatnya di Batuampar.

Berawal dari sinilah, surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri yang intinya membebaskan bea masuk barang-barang dari luar ke Batam, bermula. Semua keputusan ini semula hanya untuk barang yang berhubungan dengan usaha perminyakan saja.

Melihat peluang ini, Kris mendirikan usaha perminyakannya yang pertama, PT Citra Pembina, Pengangkutan dan Industri (CPPI). Usahanya ini terus berkembang, hingga kemudian Kris mendirikan Citra Tubindo, perusahaan pembuat pipa dan alat-alat pengeboran minyak.

Klien pertama PT CPPI adalah Arco, yang langsung memita memindahkan logistic base-nya dari Singapura ke Batam. Ada sekitar 40 ribu ton peralatan minyak milik Arco yang dipindahkan ke Batam.

Namun ini tak mudah, karena sebelumnya terbentur izin Bea Cukai, meski akhirnya usaha ini sukses.

Hal ini tak lepas dari turunnya SKB tiga menteri itu sendiri. Dalam perkembangannya, setelah Batam dibuka sebagai pemukiman, kawasan bisnis dan wisata, SKB tiga menteri itu juga berlaku bagi barang-barang konsumsi, otomotif, hingga elektronik.

Jadilah Batam yang semula didesain sebagai basis logistik minyak, menjelma menjadi surga barang impor.

Tidak ada komentar: