Sabtu, 29 Agustus 2009

Si Cerdas yang Bodoh

Aku pilih kamu sebagai kekasihku, karena kamu rupawan…
Aku pilih kamu sebagai musuhku, karena kamu cerdas…


Sebuah pitutur barat tersebut, hingga kini masih saya simpan di benak. Mengingatkan ku pada beberapa kisah. Semula, saya menentangnya, namun kini saya resapi, ada benarnya juga.

“Aku pilih kamu sebagai kekasihku, karena kamu rupawan…”
Saya teringat sebuah kisah seorang tokoh di kampung halaman saya, Pulau Bawean, ketika dia akan menentukan siapa yang akan dipilih sebagai istrinya.

Ada dua wanita yang saat itu menggelayuti benaknya. Yang satu, berparas cantik namun tak begitu pintar. Yang satu lagi, berparas tak begitu cantik tapi pintar.

Setelah lama dia berfikir, akhirnya diputuskan memilih wanita berparas cantik namun tak begitu pintar.

Alasannya, “Kalau ketidak pintaran bisa diubah melalui ditunjuk ajar, tapi ketidak cantikan tak bisa diubah,” begitu katanya.

Boleh juga pertimbangannya.

Selanjutnya, “Aku pilih kamu sebagai musuhku, karena kamu cerdas…”

Saya jadi teringat omongan Syaidina Ali. Dia berkata, “Lebih baik aku punya musuh yang cerdas, dari pada kawan yang bodoh.”

Tentunya musuh di sini dipandang sebagai suatu hal yang positif, sebuah pemicu untuk maju.

Kalimat ini sama halnya dengan ucapan Bos Jawa Pos Nasional Network Dahlan Iskan yang sangat memuja persaingan.

Dalam suatu kesempatan dia berkata, “Saya menyesal, kenapa Kompas tak dari dulu membikin koran di daerah (sama seperti Jawa Pos). Karena dengan demikian, Jawa Pos akan jauh lebih maju lagi,” ujarnya.

Ya, saya amini akan hal ini. Orang cerdas, memang pantas untuk dijadikan “musuh”. Ibarat petinju kelas berat, rasanya kalau lawannya hanya amatiran, kurang begitu memuaskan.

Carilah lawan yang hebat, sehingga kalau menang namanya akan menjulang, kalau kalah pun masih terhormat. Orang pun akan berkata, “Hebat sekali dia, berani menantang sang juara itu ya?”

Sayapun berperinsip seperti ini. Orang yang cerdas, memang harus dimusuhi. Musuh di sini, diartikan bersaing, kritis, dan selalu ingin menguras isi pikirannya. Selain itu, kritik di sini juga diartikan, agar pemikiran si cerdas itu tak melenceng jauh.

Saya sepaham dengan Iwan Fals. Menurutnya, pikiran itu liar dan tak akan mampu terkurung tembok. Hal inilah yang dimiliki orang cerdas. Maka itu, untuk menahan laju pemikiran liarnya ini, harus ada yang berani mengkritik, agar tetap di relnya.

Siapakah dia? Aku? Anda? Ya bisa siapa sajalah.

Namun adakalanya, khususnya di dunia ketimuran ini, hal tersebut sulit dilakukan. Ada kalanya, saat kita melakukan kontrol itu, dituding yang macam-macam. Bahkan, ada kalanya si cerdas itu tak memahaminya.

“Oh… Kamu benci ya sama aku?”
“Oh, kamu sering jelek-jelekin aku?” dan lain sebagainya.

Padahal, antara benci dan kontrol itu, sama sekali berbeda. Sama halnya dengan amarah dan tegas. Yang jelas, benci atau marah itu nafsu (destruktif), sedangkan kontrol dan tegas itu adalah masukan (konstruktif).

Kalau sudah begini, sebenarnya yang rugi ya, si cerdas itu sendiri. Karena kecerdasan tanpa kontrol, sama saja dengan api yang melahap ilalang.

Dan saya pun, bila dihadapkan situasi seperti ini, tak akan perduli lagi. Kata orang Melayu, “Suka hati engkau lah!”

Tidak ada komentar: