Kamis, 27 Agustus 2009

Taksi Oh Taksi

Seorang teman bersungut-sungut, ketika melintas di Sekupang, banyak orang berdiri di tepi jalan melambai kepadanya meminta dia berhenti. Sekali dua, dia masih bisa tahan. Namun lama-lama dia kesal juga.

“Maaf, ini bukan taksi!” sergahnya.
”Sialan. Masak mobil saya disangka taksi!” serunya. Ruapanya dia masih kesal.

Ah. Santai sajalah, tak usah marah. Selamat datang di Batam. Kota di mana segala jenis sedan disebut taksi. Sebutan ini sudah lama melekat dan hingga kini susah hilang.

Semua ini ada sejarahnya. Dulu angkutan yang ada di Batam adalah taksi. Angkutan jenis ini dipilih, karena saat itu Batam tak sepadat saat ini. Jadi, trayek-trayek angkutan umum belum ada.

Taksi di Batam adalah kendaraan bermotor jenis sedan, Toyota Crown warna kuning eks Singapura.

Lama-lama, seiring berkembangnya penduduk, armada taksipun makin banyak. Taksi pun menjai ajang bisnis yang menggiurkan. Sayangnya, banyak tak resmi. Saat itu, banyak orang membeli kendaraan pribadi jenis sedan untuk dijadikan taksi. Taksi jenis ini biasa disebut taksi plat hitam, atau taksi gelap.

Dari sinilah, awal mula sebutan ”taksi” kepada segala jenis mobil sedan bermula. Dan sampai saat ini, kebiasaan tersebut belum hilang, meski saat ini sarana transportasi di kota Batam sudah sangat beragam.

Ternyata, sangat susah menghilangkan kebiasaan tersebut, sesulit melakukan penertiban taksi itu sendiri. Tak usahlah berbicara soal taksi gelap, yang resmipun kadang banyak yang jauh dari standar taksi yang sebenarnya.

Salah satunya, tarifnya tak menggunakan argometer (dihitung secara otomatis tergantung jumlah jarak yang ditempuh). Umumnya, tarifnya hanya berdasarkan kesepakatan, di mana penumpang dan pengemudi menyepakati tarif sebelum (kadang bisa juga sesudah) perjalanan.

Bila masuk ke dalam, interiornya juga kurang bersih. Kadang juga dijumpai supirnya merokok sambil mengemudi.

Banyak juga dijumpai kartu identitas armada taksi dan nomor kode tak terpasang di dashboard. Ini tentu sangat fatal, sebab penumpang tak bisa melihat nama sopir, nomor identitas, dan foto. Sehingga akan sulit melapor kepada perusahaan taksi, jika dalam pelayanannya ada masalah.

Yang lebih parah, ada kalanya supir kurang profesional. Misalnya, bertingkah laku baik, rambut terpotong rapi, memakai seragam dan sepatu. Karena bagaimanapun, penampilan seorang supir taksi mencerminkan layanan total armadanya.

Belum lagi, banyak yang serampangan mengais penumpang, sehingga banyak bentrok dengan supir angkuan jenis lain.

Semua kesemrawutan ini perlu penataan segera. Pemerintah kota dalam hal ini harus segera bertindak.

Sebenarnya tahun 2002 lalu penertiban taksi yang profesional sudah dimulai, dalam hal ini menggunakan sistem argo. Namun tidak jalan. Hingga saat ini, Pemko Batam terhitung 1 September nanti, kembali melakukan penataan serupa. Target awal, sebanyak 3 ribu taksi akan ditera, sistem argo pun akan diterapkan.

Namun, masih saja ada kendala. Penolakan kadang muncul di sana-sini. Kita berharap, semoga saja, kali ini Pemko Batam tak kalah lagi. Sehingga nantinya, armada taksi di Batam sama baiknya dengan kota-kota lain.

Dan yang terpenting kepuasan konsumen bisa dijaga. Tentunya kita semua sepakat, bahwa saat memutuskan naik taksi, karena kita ingin kenyamanan dan keamanan. Karena itulah, tarif taksi berbeda dengan angkutan lain.

Menata taksi, tak hanya memperbaiki moda transportasi di kota Batam, tapi juga memperbaiki citra kota ini. Karena umumnya pelanggan taksi adalah kalangan menengah ke atas dan para wisatawan. Bila semua ini dibiarkan semrawut, apa kata dunia.

Tidak ada komentar: