Rabu, 26 Agustus 2009

Datuk Maringgih

Masih cerita soal film. Saat SD dulu Indonesia digemparkan oleh sebuah sinetron Siti Nurbaya. Sinetron yang tayang di TVRI ini memang bagus dan penuh tunjuk ajar.

Saat menyaksikan sinetron ini, ada sebuah adegan yang bikin saya kesalnya minta ampun. bahkan, sampai sekarang masih terasa.

Petikannya seperti ini, saat itu Datuk Maringgih tengah memimpin penyerbuan melawan Belanda. Dengan gagah dia berdiri di depan, sembari meneriakkan kata-kata patriotik.

Selanjutnya, "Serbu..." dia memerintah. Mendengar hal ini, laskar yang dipimpinnya serentak maju dengan semangat membara.

Namun apa yang terjadi? O o... Setelah anak buahnya maju, Datuk Maringgih bukannya ikut terjun ke medan perang, melainkan mundur perlahan-lahan lalu sembunyi menyelamatkan diri.

Kurang ajar memang. Inilah tipikal pemimpin oportunis, pemimpin bermental badut yang sangat tak layak diteladani.

Berkoar-koar memerintah, menyuruh anak buahnya maju, namun setelah anak buahnya maju,
dia malah mundur. Ada saja dalihnya, ada saja alasannya.

"Dasar Datuk Maringgih, akal-akalan saja! Orang disuruh maju, giliran sudah maju, dia malah mundur!" rutuk saya kala itu.

Hingga berdasawarsa berlalu, adegan ini masih melekat dalam benakku. Sebuah adegan tentang seorang pemimpin bermental badut, yang selalu menjilat ludahnya sendiri.

Ah, mending jadi pemimpin yang enggak populer, tapi tegas dalam menjalankan aturan, dari pada menjadi pemimpin dengan tipikal seperti ini.

Orang diperintah maju, sementara dia malah mundur.

Apapun alasannya, mengorbankan anak buah untuk menyelamatkan diri sendiri, sangatlah terkutuk.


--------------
pemenang selalu jadi bagian dari jawaban;
pecundang selalu jadi bagian dari masalah.

pemenang selalu punya program;
pecundang selalu punya kambing hitam.

pemenang selalu berkata, “Biarkan saya yang mengerjakannya untuk Anda”;
pecundang selalu berkata, “Itu bukan pekerjaan saya”;

Pemenang selalu melihat jawab dalam setiap masalah;
pecundang selalu melihat masalah dalam setiap jawaban.

Pemenang selalu berkata, “itu memang sulit, tapi kemungkinan bisa”;
Pecundang selalu berkata, “Itu mungkin bisa, tapi terlalu sulit”.

Saat pemenang melakukan kesalahan, dia berkata, “saya salah”;
saat pecundang melakukan kesalahan, dia berkata, “itu bukan salah saya”.

Pemenang membuat komitmen-komitmen;
Pecundang membuat janji-janji.

Pemenang mempunyai impian-impian;
Pecundang punya tipu muslihat.

Pemenang berkata, “Saya harus melakukan sesuatu”;
Pecundang berkata, “Harus ada yang dilakukan”.

Pemenang adalah bagian dari sebuah tim;
Pecundang melepaskan diri dari tim.

Pemenang melihat keuntungan;
Pecundang melihat kesusahan.

Pemenang melihat kemungkinan-kemungkinan;
Pecundang melihat permasalahan.

Pemenang percaya pada menang-menang (win-win);
Pecundang percaya, mereka yang harus menang dan orang lain harus kalah.

Pemenang melihat potensi;
Pecundang melihat yang sudah lewat.

Pemenang seperti thermostat;
Pecundang seperti thermometer.

Pemenang memilih apa yang mereka katakan;
Pecundang mengatakan apa yang mereka pilih.

Pemenang menggunakan argumentasi keras dengan kata2 yang lembut;
Pecundang menggunakan argumentasi lunak dengan kata2 yang keras.

Pemenang selalu berpegang teguh pada nilai2 tapi bersedia berkompromi pada hal2 remeh;
Pecundang berkeras pada hal2 remeh tapi mengkompromikan nilai2.

Pemenang menganut filosofi empati, “Jangan berbuat pada orang lain apa yang Anda tidak ingin

orang lain perbuat pada Anda”;
Pecundang menganut filosofi, “Lakukan pada orang lain sebelum mereka melakukannya pada

Anda”.

Pemenang membuat sesuatu terjadi;
Pecundang membiarkan sesuatu terjadi.

Para Pemenang selalu berencana dan mempersiapkan diri, lalu memulai tindakan untuk menang…
Para pecundang hanya berencana dan berharap ia akan menang …

Tidak ada komentar: