Selasa, 22 November 2011

Agus Mustofa

”Kadang kala gunung harus meletus, agar menjaga bumi tetap berdiri.” Kalimat ini saya dapat dari Agus Mustofa, penulis buku-buku seri diskusi tasawuf Islam berhaluan moderen, saat dia berkunjung ke redaksi Batam Pos.


Dalam konteks psikologi, teori ”gunung meletus” tadi bisa juga berarti, ”Kadang kita harus meluahkan amarah, guna menjaga jiwa tetap stabil. Namun tiu pilihan terakhir. Inilah yang disebut katarsis. Semua harus tersalur, secara alamiah.

Agus memang pemikir Islam yang dinamis. ”Karena Islam adalah agama universal dan pas di segala zaman,” urainya.

Arek Malang ini banyak mengupas Islam dari segi ilmu pengetahuan. Semuanya banyak berkisah akan olah pikir dan olah hati. Lihatlah bagaimana dia menulis tentang takdir, yang menurutnya bukan sesuatu yang tetap, namun bisa diusahakan untuk berubah.

Agus mengurai, Rukun Iman ke enam mengatakan, kita harus percaya pada qada dan qadr. Menurutnya, qadr adalah kapasitas yang sudah ditetapkan. Seperti jenis kelamin, ras, orang tua dan sejenisnya.

Namun qada, merupakan takdir yang bisa diperbaiki. Misalnya saat ini, kita tengah terjebak macet. Situasi tersebut merupakan takdir, namun hal ini bisa kita perbaiki, kita ikhtiarkan, dengan cara berusaha keluar dari kemacetan tersebut.

Dengan demikian, manusia tak akan terjebak pada kepasrahan. Karena Allah kurang menyukai orang yang hanya berpasrah tanpa berusaha. ”Bukankah Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum, bila mereka sendiri tak mengubahnya?” ujar Agus mengutip Alquran Surat Ar-Raad, ayat ke 11.

Yang juga menarik bukunya yang berjudul Tahajud Siang Hari Duhur Malam Hari. Di sini Agus mencoba menggambarkan, bahwa di sisi bumi yang lain, siang malam kadang datang tak beraturan. Di Eropa khususnya yang beriklim kutub, kadang siang di sana lebih panjang dari malam. Pun sebaliknya.

Di Rusia, misalnya, pada saat penghujung Musim Panas, penduduk di sana merayakan White Night, yang artinya malam putih. Biasanya perayaan dimulai pukul 23.00. Malam Putih. Disebut demikian, karena saat itu matahari barulah tenggelam ketika pukul 24.00 malam!

Nah, kalau begini bagaimana dong salatnya? Bagaimana dong puasanya? Inilah yang dikupas dalam buku Tahajud Siang Hari Duhur Malam Hari.

Dalam buku ini Agus juga berkisah pengalamannya saat mendampingi jamaah umrah dari Surabaya. kebetulan, kala itu bulan Ramadan. Semua jamaah tentu sedang berpuasa.
Hingga saat jam para jamaah menunjukkan pukul 18.00 (waktunya masih WIB, berdasar jam keberangkatan), di luar masih terang benderang. Padahal, mereka semestinya sudah berbuka.

Sesaat mereka masih bertahan. Hingga dua jam berlalu, ada pula yang tak tahan lalu bertanya pada Agus, apa boleh berbuka puasa. Agus menjawab, karena sahurnya berdasar WIB, maka boleh saja berbukanya berdasar WIB.

Di antara jamaah, ada yang mematuhi saran Agus. Namun, tak sedikit yang masih bertahan. Agus pun tak tega lalu mengatakan bahwa matahari masih lama akan tenggelam.

Pasalnya, perjalanan Surabaya-Mekkah seiring dengan peredaran matahari, yakni menuju ke barat. Kecepatan pesawat kala itu 1.000 km perjam, sedangkan matahari 1.600 km perjam. Jadi, wajar saja jika siang terasa lambat.

Mendengar penjelasan Agus ini, jamaah pun mengerti, lalu mereka berbuka.
Kisah ini juga mendapat tanggapan dari Bos Jawa Pos Grup Dahlan Iskan. Dalam pengantarnya dia menulis, ”Wah, untung masih naik pesawat biasa, kalau naik concorde, malah tambah panjang siangnya. Karena kecepatan Concorde melebihi kecepatan matahari,” tulisnya.

Dahlan memang sudah lama mengenal Agus. Maklumlah, Agus mantan wartawan Jawa Pos. Dia bekerja di sana, sejak 1990, setelah lulus kuliah di Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Nuklir, Universitas Gadjahmada, Yogyakarta angkatan 1982. ”Ilmu nuklir kurang berkembang di Indonesia,” selorohnya.

Setelah di Jawa Pos, Agus mulai giat mengasah kemampuannya di bidang tasawuf. Maklumlah, sejak kecil dia sudah sangat akrab dengan filsafat seputar pemikiran Tasawuf. Hal ini terpengaruh pemikiran sang ayah, Syech Djapri Karim.

Di masanya, ayah Agus seorang guru tarekat yang intens, dan pernah duduk dalam Dewan Pembina Partai Tarekat Islam Indonesia, di era Bung Karno.
Setelah di Jawa Pos, pria kelahiran Malang, 16 Agustus 1963 itu, pelan-pelan mulai menuangkan hasil pemikirannya.

Hingga setelah banyak menghasilkan buku, dia memutuskan mundur dari grup Jawa Pos, kala jabatannya sudah sebagai General Manager JTV, televisi lokal milik Jawa Pos. bahkan kini, dia memiliki percetakan buku sendiri di Surabaya, bernama Padma.
Satu lagi tausiyah Agus yang masih terngiang di telinga saya adalah, saat dia menjabarkan apa itu senang, nikmat dan bahagia.

Menurutnya senang itu bersifat kebendaan dan lahiriyah. Misalnya, kita senang saat punya mobil dan sebagainya. Sedangkan nikmat, selalu berada di hati. Adapun kebahagiaan, merupakan nikmat yang datang terus menerus.

Dari uraian ini, kita diajak agar untuk menuju ke sana, hendaknya orientasi hidup tak hanya bersifat kebendaan, namun bagaimana kita menata hati.

Tidak ada komentar: