Rabu, 09 November 2011

Pahlawan

Awal tahun 1430, tepatnya di puncak perang 100 tahun antara Prancis dan Inggris. Pada pertengahan abad 15 itu, Prancis menderita kekalahan terus menerus, hingga kehilangan setengah wilayahnya.

Hingga kemudian di tahun 1429, Jeanne d’Arc (Joan of Arc), gadis yang tinggal di sebuah desa kecil Prancis itu, bangkit melawan. Didorong oleh keyakinan mendengar suara Tuhan untuk selamatkan Prancis, Jean menemui Putra Mahkota Charles (Charles 7) untuk memimpin pasukan serta ikut berperang.

Hasilnya, pasukan gadis yang dijuluki La Pucelle yang berarti ”sang dara” atau ”sang perawan”, tersebut berhasil merebut Orleans dan beberapa wilayah lain dan mengusir tentara Inggris. Kemenangan ini, membuat nama Jeanne d’Arc masyhur, sehingga mampu membuat pasukan Inggris lari terbirit-birit saat melihat ”Gadis dari Orleans” itu di atas kuda dengan baju zirahnya.

Singkat kata, Mei 1430, dalam pertempuran di Compeigne, Jeanne d’Arc berhasil ditangkap pasukan Inggris dan kemudian ditawan disebuah menara di Rouen, selama pengadilan berlangsung, yang kemudian dikenal sebagai Menara Jeanne d’Arc.

Ditahun berikutnya, 30 Mei, 1431, Jeanne d’Arc dikenakan tuduhan bidah, bahkan dicap sebagai penyihir. Lalu melalui mekanisme dengan sangat tak adil, akhirnya dia dihukum bakar. Setelah hagus dibakar ulang hingga jadi abu, kemudian abu tersebut dibuang ke sungai Seine.

Namun, Charles 7 menyatakan hukuman terhadap Jeanne d’Arc tidak sah dan memulihkan kehormatannya. Hingga 400 tahun kemudian, tepatnya tahun 1920, Paus Bennedictus 15 mengakui Jeanne d’Arc sebagai orang suci dan parlemen Prancis menyatakan undang-undang supaya setiap tahun dirayakan festival untuk memuji Jeanne d’Arc.

Ini hanyalah sekelumit sejarah kepahlawanan yang coba diluruskan di Prancis, berdasar apa yang dialami, bukan yang diceritakan. Semua dikaji berdasar analisis menganai struktur (aliran ”sejarah jenis baru” dari mahzab Annales). Sejarah yang berusaha dibersihkan dari manipulasi untuk menghilangkan jejak berdarah para pelanggar HAM untuk kepentingan sesaat peguasa.

Di Indonesia, pelurusan semacam ini juga tengah bergolak. Di mulai ketika tumbangnya rezim Orde Baru disusul masuknya era reformasi. Karena sejarah dan gelar pahlwan Indonesia ada yang dimanipulasi. Umumnya ditulis hanya dari sisi pemenang, bukan korban. Padahal, sejarah dalam perspektif korban dapat menjadi alternatif, kini dan esok. Semua ini perlu diluruskan guna menepatkan, melengkapi, dan memperjelas suatu peristiwa sejarah.

Orang yang paling getol menggugat "sejarah resmi" dan pengangkatan pahlawan Indonesia adalah wartawan yang juga peneliti, Asvi Warman Adam. Dalam beberapa tulisan baik di buku dan media massa, doktor dalam bidang ilmu sejarah dari EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales) di Paris, 1990, ini banyak mewacanakan pelurusan sejarah Indonesia, membongkar kebohonan- kebohongan dan rekayasa, serta mengarahkannya menjadi ajang pembebasan bagi kaum tertindas.

Di antara rekayasa itu, tentang pelenyapan fakta pembunuhan sekitar setengah juta orang selama rentang tahun 1965 sampai 1966, serta anggapan bahwa penjajahan Belanda di Indonesia berlangsung selama 350 tahun. Padahal kala itu banyak kerajaan-kerajaan di Nusantara yang masih berdaulat.

Selain Asvi Warman Adam, beberapa kalangan muda juga banyak menggugat tentang sejarah dan anugerah kepahlawanan di Indonesia ini. Yang paling banyak dipertanyakan adalah anugerah kepada pahlawan yang hidup di masa penjajahan Belanda.

Menurut mereka, ada beberapa orang yang disebut pahlawan itu tak lebih dari seorang homopobik. Bahkan ada yang membantai suku tertentu, menjadikan wanitanya budak, serta melakukan pelanggaran hak azazi manusia lainnya. Ini tentu menjadi luka masa lalu antar anak bangsa (pelaku dan korban), yang terus terpelihara hingga kini.

Mereka juga berpendapat, sebenarnya di antara mendapat gelar pahlawan di masa Belanda, semula bukan berperang karena ingin memerdekakan Indonesia, tapi akibat konflik dagang dengan lawan bisnisnya yang disokong Belanda, serta masalah tanah. Mengingat bangsawan zaman dulu banyak yang menjadi tuan tanah. Perlawanan mereka kemudian dibungkus dengan embel-embel suku, ras, agama dan antar golongan sehingga gaungnya menjadi besar.

Berdasarkan hal inilah ada kalangan muda di antaranya aktivis Human Right Watch, Andreas Harsono, merasa agar negara tak perlu lagi memberikan gelar pahlawan nasional. Selain banyak keanehan, kriterianya kacau balau, juga pemberian gelar pahlawan itu bukan domain negara. Dia pun merujuk pada negara-negara dengan sistem demokrasi konstitusional.

Menurutnya, negara-negara tersebut memiliki war memorial, juga hari kepahlawanan, namun tak punya pahlawan nasional. Pahlawan itu domain masyarakat lokal. Bukan negara. Jadi, anda punya pahlawan sendiri. Mungkin orang tua, guru atau tokoh. Ini hak masyarakat untuk mengangkat (pahlawan) nya. Bukan urusan negara.

”Saat ini, sudah ada 144 pahlawan nasional, mungkin 50 tahun lagi, Indonesia akan memiliki minimal 600 pahlawan nasional,” katanya.

Tidak ada komentar: