Selasa, 01 November 2011

Dua Hari Raya

Hari Raya Idul Adha sudah menjelang. Orang-orang di kampung kami, Bawean, Jawa Timur, menyebut Idul Adha dengan Hari Raya Besar. Dan perayaannya pun tak kalah istimewa dengan Idul Fitri.



Cuma bedanya, di hari raya Idul Adha tak ada lagi tradisi beli baju baru. Karena saat Idul Adha mereka mengenakan kembali baju baru yang sudah dipakai saat Idul Fitri.

Agar baju tersebut tetap bagus, orang tua akan langsung menyimpan baju Lebaran Idul Fitri anaknya, usai dikenakan. ”Nanti dipakai lagi saat hari raya besar,” anjurnya.

Tapi ini cuma tradisi saja. Ini hanyalah refleksi kebahagiaan menyambut hari raya. Karena hari raya adalah hari makan-makan, minum-minum dan mengingat Allah (dengan takbiran).

Soal mengapa orang Bawean menyebut Hari Raya Idul Adha dengan Hari Raya Besar, saya juga belum paham. Karena baru sekarang saja hal itu terpikir. Tapi kalau saya coba menganalisa, mungkin ada kaitannya dengan tradisi dari Mesir yang juga menyebut Idul Adha dengan Ied Kabir yang artinya Lebaran Besar. Sedangkan HariRaya Idul Fitri disebut Ied Shogir atau Lebaran Kecil.

Karena itulah, mengapa perayaan Idul Adha di negara tersebut, juga di Iran, jauh lebih meriah dan semarak dibanding Idul Fitri. Kebalikan negara kita. Namun sekali lagi, tetap saja kedua hari raya ini ”sama” istimewanya yang memiliki nilai bahagia, semarak, dan amaliyah.

Kata sama saya beri tanda kutip, karena ternyata Idul Adha dan Idul Fitri memiliki hubungan yang erat. Terutama hubungannya dalam dua rukun Islam (puasa dan haji), relasi taqwa dan al birr (kebajikan), relasi spiritual dan fisik, dan relasi pembinaan pribadi dan keluarga. Keterkaitan ini sempat dikupas Dedhi Suharto, dalam bukunya Keluarga Qurani.

Hubungan pertama, dua hari raya ini merefleksikan relasi dua rukun Islam, tentang puasa dan haji. Bila dalam Idul Fitri kita sebelumnya melaksanakan ibadah Puasa Ramadan, di Idul Adha, sebagian ini umat muslim yang mampu dan dipanggil-Nya, menunaikan ibadah Haji di Mekkah.

Puasa mengajarkan pengendalian diri dan bersifat internal, sefangkan haji mengajarkan berkumpul, berinteraksi dengan sesama Muslim dan bersifat eksternal.

Ibadah puasa merupakan sarana latihan, dan pahalanya tak dapat ditentukan karena hanya Allah yang langsung akan membalasnya sendiri. Sedangkan ibadah haji merupakan sarana pembuktian, dan jaminannay sudah pasti, yaitu surga.

Ibadah puasa adalah landasan konsepsional sehingga lebih bersifat abstrak, sedangkan ibadah haji yang merupakan kelanjutan dari ibadah puasa, menggambarkan praktik dalam kehidupan nyata, sehingga lebih konkret.

Karenanya, ibadah puasa akan menghasilkan keikhlasan dan taqwa (kesalehan pribadi), sedangkan ibadah haji akan menghasilkan al birr, atau kebajikan (kesalehan sosial). Selain itu, ibadah puasa terfokus pada pembentukan probadis seorang Muslim, sedangkan ibadah haji terfokus pada pembentukan masyarakat Muslim itu sendiri.

Konsep taqwa dan kebajikan (al birr) inilah yang direfleksikan dua hari raya tersebut. Bila ibadah puasa Ramadan, yang karenanya kita merayakan Idul Fitri, bertujuan agar kita menjadi taqwa, maka tujuan ibadah haji yang karenanya kita merayakan Idul Adha, agar (pelaksananya) menjadi orang yang berbaksi karena hajinya penuh kebajikan.

Jadi jelas, konsep taqwa lebih abstrak, bernuansa keagamaan, sedangkan al birr lebih konktret dan bernuansa kemanusiaan. Keduanya saling terkait.

Relasi kedua hari raya inipun, merfleksikan dua komponen besar manusia, yakni spiritual dan fisik. Bila Idul Fitri mengingatkan kita kepada kekuatan spiritual yang harus dibina, sedangkan hari raya Idul Adha, dengan ibadah haji, mengingatkan kita untuk membina pada kekuatan fisik. Semua kekuatan inilah, baik spiritual dan fisik yang coba didorong oleh Islam.

Dalam dua hari raya tersebut, Allah juga menurunkan dua jenis ujian berbeda. Dalam Idul Fitri, ujiannya sederhana, tapi mendasar, yakni berupa pelaksanaan ibadah zakat fitrah. Ujiannya bersifat individu.

Sedangkan Idul Adha, bentuk pengujiannya berdasarkan biaya, sehingga terasa lebih berat. Pada Idul Adha, ujiannya berupa pelaksanaan menyembelih hewan kurban yang disunnahkan pada komunitas terkecil dalam bentuk keluarga. Sekali lagi, semangatnya adalah pada komunitas bukan individu.

Tidak ada komentar: