Senin, 19 Desember 2011

Kota "Kaya" Baru

Beberapa tahun lalu, Pemerintah Kota Batam sempat mengeluarkan peraturan daerah tentang kependudukan.

Inti dari aturan ini, akan pembatasan laju pendatang (migrasi/urbanisasi) dari daerah lain ke Batam. Ada banyak faktor yang jadi pertimbangan, termasuk soal gangguan keamanan.

Namun laju pendatang tetap tak terbendung. Batam, layaknya lampu, terlalu berkilau untuk tidak menarik perhatian ”laron” datang. Meski risikonya mereka mati sekalipun.

Batam adalah sebuah contoh, di antara banyak pemerintah kota yang berusaha menghentikan laju migrasi dan urbanisasi. Brazil, misalnya, yang sempat mengerem laju pendatang karena merancang kotanya untuk 500 ribu jiwa. Akibatnya kian memperparah perluasannya.

Melebar, tentu menjadi masalah perencanaan kota masa kini. Karena akan jauh lebih baik bila kota dibangun ke atas dari pada ke samping.

Hal sama juga sempat dilakukan Inggris pada abad 19, yang berusaha menghentikan urbanisasi ke London. Hal inilah, berdasar survei PBB, yang kemudian menular pada 72 persen negara berkembang untuk memperlambat laju migrasi ke kota.

Peraturan mengerem laju migrasi dan urbanisasi seperti yang pernah dilakukan di Batam, jadi semacam oksimoron. Mengingat kota berkembang karena serbuan kaum pendatang itu sendiri. Merekalah (bersama warga tempatan tentunya) yang kemudian membangun dan mewarnai kota.

Kalau tak percaya silakan dicek, sebagian besar warga Batam adalah pendatang. Mobilitas mereka sangat tinggi. Hal ini sama halnya dengan kota-kota lain di dunia, yang maju karena kaum arus pendatang.

Kaum pendatang di Batam ini semula ditarik oleh masuknya investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI). Dalam perjalanannya, FDI ini mendongkrak pertumbuhan masyarakat kelas menengah di kawasan ini -bahkan saat ini Batam telah memiliki beberapa konglomerat/taipan bisnis yang namanya masuk di jajaran orang terkaya Indonesia- bravo!

Selain itu, meningkatnya FDI juga mendorong peningkatan kualitas hidup. Daya beli masyarakat Batam turut menanjak. Terjadinya peningkatan pembelian tak hanya pada jasa penerbangan dan telekomunikasi seperti telepon pintar, tetapi juga otomotif. Luar biasa. Membaiknya ekonomi inilah yang terus menerus menarik para pendatang mengadu peruntungan di Batam.

Ekonom Harvard University Edward Glaeser mengatakan, tak ada urbanisasi kota yang miskin, tak ada pedesaan yang kaya.

Majalah National Geographic baru-baru ini melansir, salah satu contoh bagaimana mengelola pendatang yang baik adalah Seoul, ibu kota Korea Selatan. Antara 1960 dan 2000 populasinya melambung dari tiga juta kurang menjadi 10 juta jiwa, dan Korea Selatan berubah dari salah satu termiskin di dunia menjadi lebih kaya daripada beberapa negara di Eropa.

Seoul didatangi jutaan pengungsi saat kota ini hancur akibat dibom pada Perang Dunia II dan Perang Korea yang berakhir 1953. Tak banyak yang tersisa, kecuali kenyataan bahwa jutaan pengungsi itu adalah orang-orang tangguh. Mereka bertekad memperbaiki nasib.

Semua energi inilah yang ditangkap dan ditata oleh diktator, Park Chung - Hee. Kala dia berhasil merebut kekuasaan melalui kudeta militer tahun 1961, pemerintahannya menyalurkan modal asing ke perusahaan-perusahaan Korea yang memproduksi benda yang dibeli orang asing (inilah yang saya sebut FDI di atas).

Yang penting dalam proses ini, proses yang menciptakan konglomerat seperti Samsung dan Hyundai, adalah pria dan wanita yang mengalir ke Seoul untuk bekerja di pabrik-pabrik baru dan menuntut ilmu di universitas.

Kota yang sedang tumbuh itu memungkinkan terjadinya ledakan ekonomi, yang membiayai pembangunan prasarana yang membantu kota itu menyerap populasi negara yang meningkat.

Seoul zaman sekarang adalah salah satu kota terpadat di dunia. Namun mereka sudah siap menghadapinya. Kini di sana ada jutaan mobil, tetapi juga sistem kereta bawah tanah yang baik. Angka harapan hidup meningkat dari 51 tahun menjadi 79 tahun, setahun lebih tua dari orang Amerika. Anak lelaki Korea masa kini pun tumbuh 15 sentimeter lebih tinggi daripada dulu.

Pengalaman Korea Selatan ini memang tak mudah ditiru, tetapi membuktikan bahwa negara miskin dapat mengalami urbanisasi dengan sukses dan sangat cepat.

Tidak ada komentar: