Senin, 05 Desember 2011

Ary Ginanjar, Antara ESQ, Sain dan Agama (2)

Lalu apa tujuan Ary membikin ESQ?

”Simpel saja, kita ini adalah produk pendidikan di Indonesia. Apa yang diajarkan di Indonesia? Intelektual, otak kiri, indeks prestasi, rapot. Padahal mansia itu bukan hanya mahluk intelektual,” jelasnya.

Menurut Ary, manusia itu mahluk emosional yang punya perasaan. Manusia itu mahluk spiritual yang punya nurani. Tapi yang dibentuk oleh pendidikan hanya yang 10 persen itu: intelektual.

”Emosi dan spiritualnya tak diformat. Akibat yang terjadi adalah manusia baru. Manusia yang saya samakan dengan manusia ras non manusia. Manusia yang dikatakan Thomas Hobb (filsuf Inggris yang beraliran empirisme, red) sebagai bellum omnium contra omnes = Perang semua lawan semua. Mansuia pemakan mansuia,” jelasnya.

Ary melanjutkan, manusia yang kehilangan hati nuraninya, kehilangan emosinya, sehingga yang ada sebuah mahluk intelektual seperti komputer tanpa kendali emosi, tanpa kendali spiritual. Akibatnya yang terjadi, sebuah kerusakan yang luar biasa.

”Bayangkan robot tanpa nurani, tanpa perasaan hidup dan berjalan-jalan di bumi Indonesia ini,” terangnya.

Beranjak dari pemikiran inilah, Ary merasa perlunya menyelenggarakan pendidikan manusia seutuhnya. Pendidikan yang memberikan pemahaman bahwa manusia itu mahluk emosional dan spiritual; yang harus diformat dan di-engineering.

”Yang terjadi sekarang adalah sebuah pemisahan yang luar biasa antara potensi intelektual manusia dan spiritual manusia, tak satu garis. Inilah yang terjadi ketimpangan,” jelasnya.

Dengan demikian, ESQ adalah bagaimana meng in-line lan antara intelektual manusia dan spiritual manusia menjadi satu garis, untuk melahirkan manusia seutuhnya atau menusia berintegritas.

Tentang mengapa metodenya selalu mengawinkan sain dan agama, menurut Ary, karena manusia selalu mencari hukum-hukum kebenaran yang bisa diterima akal sehat. Mansia diciptakan untuk benar, manusia tidak bisa didoktrin, serta manusia akan mencari hal yang paling benar dan tak menerioma hal yang tak masuk akal.

Artinya, sesuatu yang dilakukan senantiasa bisa diterima akal sehat, kalau akal tak bisa nerima, maka nuraninya. Jadi ketika dia mampu menemukan keseimbangan antara akal dan nuraninya, maka yang terjadi adalah manusia yang seimbang antara apa yang dipikir, apa yang ada di hatinya, dan apa yang dirasanya.

Menurut Ary, agama saat ini telah ditinggalkan dalam dunia sain. Ini pengaruh dari Eropa abad kegelapan, selama 10 abad. Saat itu, ketika berbicara agama, ada sesuatu yang mutlak tanpa perlu dipikirkan, inilah yang mengakibatkan sebuah kemunduran hingga ada hukuman mati di abad pertengahan.

”Pemisahannya luar biasa dan dampaknya sampai ke Indonesia, tapi pemisahanya menjadi fatalitas. Kebenaran itu cuma cuma satu, hukum alam itu sendiri,” ujarnya.

Soal pemisahan agama dan sain ini Ary mencontohkan di universitas, misalnya ilmu hukum. Banyak yang mencapai gelar hingga doktor, ahli undang-undang pidana dan perdata, tapi tak belajar hukum agama, tentang kejujuran dan keadilan.

”Apa yang terjadi? Mereka menjadi ahli-ahli hukum tapi memperjual belikan keadilan. Bahkan penegak hukum menjadi terhukum. Penuntut hukum malah dituntut. Kenapa? Karena mereka melepaskan diri dari sain dengan nilai-nilai agama,” jelasnya.

Di ujung dialog ini, Ary menegaskan bahwa dirinya bukan mengait-ngaitkan antara agama dan sain, namun bagaimana menggabungkan dua hal tersebut. Antara ilmu pengetahuan dan nilai.

”Jangan salah, setiap ilmu pengetahuan punya value: kejujuran. Siapa yang mengajarkan? Agama. Tapi ketika bicara aplikasinya, dia perlu undang-undang pidana dan perdata. Nah ini yang disatukan, dan itu pekerjaan ESQ,” jelasnya.

Kemudian, ketika bicara tentang SDM, tentang leadership, tentang manajemen, umumnya saat itu agama ditinggalkan. Akibatnya mereka mengamalkan rumus bisnis, ”untung sebesar-besarnya, modal sekecil kecilnya. Akibatnya yang terjadi, ikan asin diberi formalin. Padahal dalam hukum agama, itu tak boleh, karena merugikan.

”Nilai-nilai agama inilah yang coba dibawa ESQ ke harian, akibat agama ditinggalkan di dunia bisnis, hukum, dunia piolitik dan dunia sain,” jelasnya.

Di ujung wawancara, ada yang kami sepakati bahwa sain dan agama saling melengkapi. Ibarat melihat dunia dari dua jendela. Perbedaan hanya pada angle saja, pemandangannya sama.

Al Ghazali berkata, ”Wahyu ibarat cahaya, dan akal ibarat mata. Kita tak bisa melihat tanpa keduanya. Masihkah kita mempertentangkan sain dan agama?” ***

Tidak ada komentar: