Selasa, 20 Desember 2011

pengungsi

Berdasar data UNHCR (badan PBB yang mengurus pengungsi), jumlah pengungsi di Indonesia kerap meningkat setiap tahunnya.


Kenaikan tajam pencari suaka ini terjadi tahun 2008-2010, dari smula hanya 350 orang, menjad 3.230 hingga 3.905. Situasi politik Irak, Afghanistan dan Srilangka menjadi pemicunya.

Jumlah ini bagai gunung es. kalau tak segera ditangani dengan benar, dampak pengungsi akan menimbulkan masalah besar bagi tuan rumah, dalam hal ini Indonesia.

Sebenarnya tujuan mereka ke Australia (pulau Christmas) dan Selandia Baru yang merupakan peratifikasi Konvensi 1951 tentang masalah pengungsi. Indonesia menjadi persinggahan, karena letaknya yang berada di tengah perlintasan jalur pelayaran dari Asia Barat ke dua negara tersebut di selatan.

Pengungsi di Indonesia merupakan gejala baru dalam satu dekade ini. Akhir Agustus 2011, sebanyak 3.271 pengungsi dan pencari suaka ada di sini.

Sebagian besar berasal dari Afghanistan, Srilangka, Iran dan Irak. Di Kepulauan Riau, pengungsi tersebut ditampung di Rumah detensi imigrasi Tanjungpinang.

Harapan mereka satu-satunya hanyalah pengakuan UNHCR sebagai ”pengungsi”, sehingga bisa segara diberangkatkan ke dua negara tujuan tersebut, Australia dan Selandia Baru.

Berdasarkan penuturan mereka, pengungsi Srilangka ini berangkat tengah malam dari desanya, umumnya di Srilangka Utara.

Semua arus pengungsi Srilangka ini dipicu perang saudara antara pemerintah dan Macan Tamil. namun meski perang selama 26 tahun itu telah berhenti para Mei 2009, arus pengungsi kian tak terbendung.

Sebab ternyata, silent war tetap berlangsung dan ini lebih berbahaya. Penculikan, pembunuhan dan pelecahan pada warga kerap terjadi.

Warga terpaksa memilih, bertahan atau mengungsi. Bagi yang mengambil keputusan untuk mengungsi, tak ada kata kembali. Karena taruhannya tetap saja: mati...!

Menurut UNHCR, lebih dari 273 ribu warga Srilangka menjadi pengungsi di negaranya sendiri akhir 2010 (internal displace person). Di saat yang sama, 149 ribu warga Srilangka, menyebar ke beragam negara sebagai pengungsi dan pencari suaka.

Kaum pengungsi ini tak semua melarat dan terbelakang, ada juga yang kaya dan terpelajar. Dalam perjalanannya, mereka tak hanya menempuh via jalur laut, tapi juga jalur udara.

Kisah ini kemudian berlanjut, ketika golongan pengungsi kaya itu, menjadi sasaran ”makelar” penyelundupan manusia dan pemalsu dokumen. Ada kisah, seorang pengungsi Kuwait yang sanggup membayar US$ 5.000 perorang atau sekitar Rp50 juta, agar bisa masuk (diselundupkan) ke Pulau Christmas Australia.

Saya pernah membaca liputan menarik dari majalah National Geographic November 2011 tentang pengungsi ini. Dimana, mencermati masalah pengungsi di Indonesia harus dilihat dari alurnya. Bagimana mereka sampai di sini, bagaimana mereka di sini, dan bagaimana mereka diberangkatkan ke negara tujuan.

Inilah yang disebut Adrianus Meliala, Guru Besar Kriminologi UI dan ketua tim peneliti soal penyelundupan manusia di Indoensia, sebagai normal flow of immigrant.

Bila normal flow ini tak jalan, maka timbullah beragam masalah sosial, psikologis, politis dan ekonomi. Ada di antara pengungsi ini yang berkelahi, sakit-sakitan, pacaran dengan warga setempat, bahkan ada kalanya terlibat tindak kriminal, seperti mencuri barang-barang milik warga setempat.

Menurut Adrianus, soal apakah mereka berangkat dengan agen penyelundup, itu bukan urusan Indonesia. Selama mereka menganggap Indonesia sebagai batu loncatan untuk segera ke negara tujuan. Masalahnya ketika saat di Indoensia, pengungsi ini berinteraksi dengan petugas, dan jadi sasaran pungli dengan alasan yang masuk akal, seperti petugas tak ada dana untuk membawa mereka ke rumah detensi imigrasi. Ada juga masalah, ketika kalangan pengungsi kaya yang diperas petugas.

Pemberangkatan pengungsi juga menuai masalah, karena tak langsung dapat kepastian dari UNHCR. Yang sudah pastipun, amsih menunggu visa, tiket, dokumen dan tempat yang menampung.

Yang kini menjadi masalah bagi Indonesia, bila pengungsi ini mulai betah tinggal di sini, yang ujung-ujungnya tak mau diberangkatkan. Belum lagi kasus kegiatan seksual yang tak aman, sehingga berpotensi menebar penyakit.

Sebagaimana diketahui, umumnya pengungsi ini adalah lelaki yang tak punya pasangan. Untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, mereka kadang mencari perempuan lokal ataupun pekerja seksual untuk dinikahi dan dijadikan pacar.

Sementara itu, Indonesia menghadapi kegamangan, akibat tak adanya hukum tentang penyelundupan manusia. Hal yang lebih buruk lagi, ternyata antar lembaga pemerintah yang terkait masalah penyelundupan manusia ini, tak memiliki prosedur standar operasi tentang masalah pengungsi. Konsepnya masih parsial, bukan malah dipikirkan bersama.

Bila pengungsi itu korban, mengapa diperlakukan sebagai tahanan? Hal ini bisa dilihat di Rumah Detensi Imigrasi Tanjungpinang, bagaimana pengungsi merasa diperlakukan sebagai penjahat ketimbang sebagai korban.

Umumnya di detensi ini, berkembang budaya penjara. Penghuninya tertekan, konflik etnik, dan tak punya privasi. Pengungsi kerap tak terlindungi sehingga menjadi korban kasus lainnya, seperti pemerasan. Keadaannya sangat buruk, sampai-sampai ada yang tak pernah melihat matahari.

Indonesia memang tak punya landasan hukum tentang pengungsi karena tak meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol Tambahan 1967. Meski Indonesia turut meratifikasi Konvensi Palermo 2000yang menentang kejahatan trans nasional yang menekan kejahatan transnasional yang terorganisasi dengan penekanan pada si penyelundup manusia.

Tidak ada komentar: